Info Tangsel
Legislator Sebagai Pembuka Akses Layanan Publik
MENJADI legislator (anggota dewan, red) oleh sebagian orang dianggap sebagai jabatan prestisius. Maklum, karena ketika duduk menjadi anggota dewan, maka posisi sebagai “pihak yang strategis†dengan sendirinya melekat.
Tetapi saya agak berbeda melihat jabatan anggota dewan. Justru dengan status itu (anggota dewan, red), sebaliknya kita justru menjadi pelayan masyarakat. Dimana dari sudut pandang politik masyarakat itu ya..konstituen yang diwakili. Dengan demikian, anggota dewan itu harus memosisikan diri sebagai mediator atau fasilitator masyarakat.
Fasilitator atau mediator, seperti apa? Yaitu pihak yang membuka ruang kepada masyarakat  agar mampu mengakses pelayanan dari kekuasaan (pemerintah, red). Faktanya masih terdapat masyarakat yang tidak mampu mengakses pelayanan tersebut. Padahal sebenarnya menjadi hak masyarakat.
Ketika anggota dewan memosisikan diri sebagai penghubung antara masyarakat dan kekuasaan, maka anggota dewan itu tengah melakukan upaya membangun representasi politik. Dimana ada hubungan antara partai politik, anggota dewan selaku kader partai dengan masyarakat yang tak lain adalah konstituennya.
Hubungan representasi politik tadi harus terus dibangun guna menjaga proses dan alur aspirasi serta mengajak masyarakat dalam berpartisipasi politik. Setelah masyarakat memberikan hak pilihnya di Pemilu, masyarakat harus tetap dilibatkan untuk memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan. Keterlibatan politik warga inilah yang menjadi kontrol atas kekuasaan.
Partai politik manapun, saya yakin, pasti menekankan kepada seluruh kadernya untuk mempraktikkan ideologi berikut platform partainya. Caranya adalah dengan kerja nyata. Partai sebagai organisasi politik, perlu memiliki keyakinan akan nilai, prinsip dasar dan asas sebagai rujukan penyusunan platform dan program kerja. Dengan demikian, partai politik sebagai organisasi harus menjadi pemandu arah kader-kadernya dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai anggota dewan.
Partai politik sebagai organisasi tempat bernaung si anggota dewan tadi, pada akhirnya bisa menilai prestasi, loyalitas dan komitmen para kadernya. Demikian pula masyarakat mengukur kinerja wakilnya dengan melihat prestasi, loyalitas dan komitmen. Dengan demikian, antara anggota dewan dengan konstituennya tidak dapat dipisahkan.
Karena jika ada anggota dewan melupakan peran terhadap konstituennya, maka legalitas politiknya secara de facto patut digugat. Karena dengan de facto tersebut, setiap anggota dewan memiliki kekuatan de jure dalam hal keterlibatannya dalam perancangan kebijakan.
Kebijakan sendiri merupakan base on politic, maksudnya kebijakan itu dikeluarkan atas pertimbangan politik yang butuh pengawasan. Karena jangan sampai kebijakan yang dirancang tidak mengakomodir kepentingan politik masyarakat.
Pengawasan dan peran mediasi/fasilitator yang diperankan oleh anggota dewan diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang realistis. Karena kecenderungannya, kebijakan politik biasanya tidak menghitung dan menganalisis dampak secara kultural dan budaya, bahkan selalu menjadi alat hegemoni.
Kebijakan yang baik didasari pada base on reality (realitas). Makanya diperlukan proses research policy (penelitian) yang harus dimediasi dan diawasi. Â Kenapa demikian? Karena tidak melulu kebijakan itu pondasinya politik (base on politic), tetapi realitas sosial tadi. Jadi antara base on reality dan base on politic keduanya harus berhubungan. (*)
Julia Miharja, S.Pd K, Anggota Komisi B DPRD Kota Tangerang Selatan