Connect with us

Tangisan Airin, Klimaks Feminisme Kepemimpinan

Info Tangsel

Tangisan Airin, Klimaks Feminisme Kepemimpinan

karikatur sonnyAIRIN menangis. Momen tersebut sempat menghiasi perwajahan media. Momen Airin menangis usai membesuk suaminya, Tubagus Chaeri Wardana di KPK menjadi foto headline. Bisa saja karena pertimbangannya, Airin menangis menjadi topik isu “seksi.” Publik terhenyak, bahkan bertanya-tanya, apa penyebab Airin menangis? Hanya Airin yang tahu.

Dari sudut pandang feminisme politik, tangisan Airin mahfum. Karena biar bagaimana pun, Airin adalah seorang perempuan, dibalik cap public figure-nya sebagai Walikota Tangerang Selatan. Tangisan tersebut secara kenalurian manusia, menjadi klimaks kegundahgulanaan hatinya.

Sedikit perempuan yang mampu menerapkan gaya kepemimpinan feminin. Kerap kali perempuan, bahkan seorang feminis pun yang menempati posisi teratas dalam kekuasaan, terjebak maskulinisme politik, gaya kepemimpinan maskulin. Alasannya sederhana, karena politik dan kekuasaan masih diklaim sebagai ranah maskulin.

Proses politik sebagai pemimpin yang berkuasa, acapkali membuat perempuan dibenturkan dengan tidak adanya pilihan lain, mengikuti permainan dan masuk ke dalam pusarannya hingga dianggap sebagai suatu kelaziman. Nilai-nilai moral, etik dan kemanusiaan semakin jauh. Dalam proses pengambilan keputusan, terjebak dengan hanya mengedepankan rasio. Pengaruh para “pembisik” turut andil memperkuat sifat maskulinitas tersebut.

Sementara sejak lahir, seorang perempuan, ekspetasi kesempurnaannya lebih tinggi dibandingkan laki-laki meliputi aspek sosial, budaya dan agama. Perempuan akhirnya lebih kuat memegang nilai-nilai dibandingkan laki-laki. Dengan pemimpin perempuan, ada harapan akan adanya perubahan dan gaya kepemimpinan yang lebih kuat.

Diamnya seorang pemimpin perempuan yang menerapkan femininitas adalah cerminan keteguhan sikapnya. Diamnya bisa dimaknai dia sedang berbuat sesuatu, mempertahankan yang diyakininya benar.

Kita toleh Aung San Suu Kyi (Suu Kyi) yang menerapkan feminisme politik dalam gaya kepemimpinannya yang juga menjadi topik hangat pemberitaan media. Ia berhadapan langsung dengan militer Burma yang hendak membubarkan persiapan kampanye National League of Democracy (NLD) bersama rekan-rekannya. Ketika Suu Kyi ditodongkan senjata, ia malah memejamkan mata sambil berjalan mendekati tentara tersebut. Ia pun lolos dari kemungkinan penembakan. Kemudian ia memilih aksi mogok makan demi menuntut pembebasan rekan-rekannya di NLD yang ditahan militer.

Keteguhan sikap dalam mempertahankan nilai feminis dari seorang pemimpin perempuan merupakan pilihan independen, lepas dari pengaruh bisikan orang-orang di sekelilingnya. Bahkan dari suami yang kerap dipandang menjadi orang di belakang layar bagi pemimpin perempuan. Semua orang boleh berpandangan seperti itu.

Feminisme kepemimpinan akan membuat arusnya sendiri. Mengajak orang di sekitarnya ikut arus baru yang dibuatnya. Guna meninggalkan nilai-nilai mainstream kepemimpinan yang terlanjur terkontaminasi oleh beragam penyimpangan atas nama politik dan kekuasaan.

Kemudian yang terbaru adalah kasus Walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang dikabarkan bakal mundur dari jabatannya. Di lain pihak, sosok Tri dituduh tidak mampu membangun komunikasi politik. Padahal bisa saja, konspirasi politik tersebut dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menggulingkan kepemimpinannya. Sementara di bawah kendali Tri, Kota Surabaya banyak memperoleh penghargaan internasional.

Kembali ke Tangisan Airin. Hal lain yang juga penting, ukuran kinerja seorang pemimpin perempuan juga dilihat dari keberhasilannya dalam kehidupan domestik. Bagaimana membangun kehidupan rumah tangga, mendidik dan merawat anak-anak, menjadi istri yang baik untuk suami, serta menyediakan waktu berikut perhatian yang berkualitas untuk keluarga.

Apalah artinya keberhasilan dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin, jika seorang perempuan gagal membangun rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Kesuksesan itu justru menjadi sunyi.  Sekali lagi, Tangisan Airin, adalah klimaks dari Feminisme Kepemimpinan. (*)

Sonny Majid, Komunitas Muda Nahdliyyin, aktif di Lingkar Kaji Isu-isu Strategis (LaKIS), warga Ciputat.

Continue Reading
Advertisement
You may also like...
To Top