Properti
Ditipu Pengembang Properti, Lapor ke Mana?
18.143.23.153- Sampai saat ini tempat pengaduan resmi terkait keluhan konsumen di bidang properti belum punya wadah yang pasti. Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) diminta bertindak melihat banyaknya permasalahan konsumen properti.
Ada konsumen yang memilih hanya diam saja, namun ada juga yang sangat berani sampai melakukan langkah hukum hingga akhirnya sukses mendapatkan haknya.
Indonesia Property Watch (IPW) mengharapkan semua asosiasi perumahan dan Kemenpera dapat mensosialisasikan kemana bila konsumen ingin mengadu. Karena saat ini konsumen kebingungan karena tidak adanya saluran untuk pengaduan.
“Sebagian besar keluhan konsumen menjadi tidak berujung. Karenanya Indonesia Property Watch meminta pemerintah dalam hal ini Kemenpera untuk dapat membuat forum antara stakeholder properti terkait untuk bersama-sama menyelesaikan masalah,” kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dikutip dari situs resminya, Minggu (9/2/2014)
Ali mengungkapkan Kelompok Kerja (Pokja) serupa sebenarnya ada beberapa tahun yang lalu, namun sempat dibubarkan Kemenpera tanpa alasan yang jelas.
“Forum ini bisa menjadi wadah arbitrase untuk kemudian bersama-sama menyusun mekanisme untuk mengeluarkan blacklist pengembang sesuai kesepakatan semua pihak. Karena forum yang terbentuk terdiri dari semua elemen properti mulai dari asosiasi, pemda, BPN, broker, perbankan, perwakilan dari konsumen, YLKI, dan lembaga-lembaga lainnya,” seru Ali.
IPW mencatat beberapa permasalahan yang sering timbul yang melibatkan perselisihan antara pengembang properti dan konsumen. Mulai dari keterlambatan serah terima, spesifikasi yang tidak sesuai, keterlambatan sertifikasi, sampai permasalahan mengenai perhimpunan penghuni di proyek rumah susun/apartemen.
“Namun demikian tidak semua dapat dikategorikan sebagai pengembang nakal, karena misalnya berkaitan dengan sertifikat dan IMB yang terlambat boleh jadi permasalahan bukan sepenuhnya berada di pengembang, karena terkait dengan lamanya pengurusan di BPN atau Tata Kota,” katanya.
Menurut Ali, pengembang dapat dikatakan nakal bila ada niat mengakali konsumen dengan mengubah atau mengganti apa yang telah disepakati bersama. Sebagai contoh banyaknya bangunan yang telah jadi namun tidak sesuai dengan spesifikasi bangunan yang ada.
“Hal ini juga lebih dikarenakan ketidaktahuan konsumen mengenai bahan-bahan bangunan yang ada. Tidak hanya di proyek properti menengah bawah, melainkan banyak pengembang proyek menengah atas pun yang mengakali mengenai spesifikasi bangunan yang ada,” katanya.
Ia menambahkan, lika-liku pengembang yang merugikan konsumen juga terlihat mencolok di proyek rumah susun/apartemen, masalah bertambah komplek dengan adanya hak pribadi dan hak atas tanah bersama. Menurutnya banyak terbentuknya perhimpunan penghuni (PPRS) tidak didasari atas aturan yang berlaku.
“Banyaknya area-area bersama yang dikomersialkan oleh pengembang dimana seharusnya menjadi bagian bersama dari penghuni rumah susun/apartemen,” katanya. (dtk)