Connect with us

Kopi, Sianida Dan Kematian Dalam Tanda Tanya (?)

Opini

Kopi, Sianida Dan Kematian Dalam Tanda Tanya (?)

Oleh : MARTIN TANGA LERO

Lex dura, sed tamen scripta” Hukum memang kejam, tetapi begitulah yang tertulis. Kematian Wayan Mirna Salihin dalam peristiwa beracun 06 Januari 2016 yang disebabkan oleh dugaan pembunuhan berencana menggunakan Racun Sianida oleh sahabatnya Jessica Kumala Wongso kembali menjadi tanda tanya meskipun secara faktual telah ada putusan pengadilan yang berdasar hukum membuktikan bersalah secara sah dan meyakinkan dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim dengan teks yang diucapkan sebagai berikut

“MENYATAKAN TERDAKWA JESSICA KUMALA ALIAS JESSISCA KUMALA WONGSO ALIAS JESS TELAH TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN BERSALAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA”
“MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP TERDAKWA TERSEBUT DENGAN PIDANA PENJARA SELAMA 20 TAHUN”

Putusan hakim tersebut kemudian membelah dua sudut pandang pemikiran dengan saling menegasi berbagai pemahaman satu dan yang lain. Hal yang sangat fundamental dipertanyakan adalah Siapa yang membunuh Wayan Mirna Salihin dan dengan cara seperti apa Mirna dibunuh oleh teman/sahabatnya Jessica Kumala Wongso menggunakan sianida? Kontras tentu, mengapa menjadi pertanyaan, siapa sangka Alat dan Barang Bukti menurut sebagian ahli dan pakar tidak dapat menunjukan secara tegas, terang dan jelas Siapa, Mengapa dan bagaimana cara atau melalui apa zat beracun sianida tersebut ada didalam gelas berisi minuman Es Kopi Vietnam yang diminum oleh Wayan Mirna Salihin hingga menyebabkan reaksi keracunan yang berakibat matinya Wayan Mirna Salihin.

Pembunuhan merupakan suatu peristiwa dimana mengungkapkan eksistensi makna yang nyata dari konteks adanya seseorang menjadi korban disebabkan oleh suatu rangkaian sebab/perbuatan menyimpang terhadap hak asasi dengan cara dan menggunakan sesuatu yang berakibat pada hilangnya nyawa atau disebut kematian. Perbuatan membunuh akan selalu menjadi musuh dan pasti dilawan dengan alternatif balasan setimpal oleh hukum (Asas Legalitas Ps. 1 ayat 1 KUHP dan Geen Straf Zonder Schuld).

Hukum melalui peraturan memberikan jaminan konstitusional dan turunannya atas Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sejak dilahirkan hingga waktunya mati (Vide Pasal 27 s.d. 34, Pasal 28A s.d. 28I UUD 1945 Tahun 2002, UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948).

Hal yang tidak dibenarkan jika seseorang lain mengambil sikap mengatasnamakan hukum sebagai korban untuk melakukan pembalasan atau tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting : Vide Ps. 351 jo. Ps. 170 jo. Ps. 406 KUHP). Namun dalam menentukan sebab matinya dan cara menemukan akibat atau mengungkapkan hilangnya nyawa seseorang bukanlah persoalan mudah.

Kematian Wayan Mirna Salihin dalam tanda tanya sebagian kecurigaan publik bukanlah disebabkan oleh keracunan akibat sianida. Adapun sebagian kecurigaan publik kematian disebabkan oleh racun sianida yang diteguk melalui gelas berisi minuman Es Kopi Vietnam oleh Wayan Mirna Salihin. Jawaban atas tanda tanya kecurigaan seharusnya telah Final melalui Putusan hakim yang konsisten sejak Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Pengadilan Kasasi Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI), Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI).

Namun kondisi faktual memiliki celah-celah keresahannya tersendiri dan hal ini mungkin akan terus menjadi teka teki yang membelah tanda-tanda tanya dalam benak jutaan manusia di dunia. Kematian Wayan Mirna Salihin telah menuntut perlindungan hukum atas kehilangan nyawanya melalui Landasan Normatif Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (Moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.”

Teks otoritas yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, petunjuk-petunjuk tekstual komunikasi grup para sahabat (Jessica, Mirna, Hani…) dan ekspresi gestur yang terekam melalui kamera CCTV telah mempengaruhi dan mengarahkan interpretasi historis Junto interpretasi gramatikal dengan keleluasaan logika dibatas-batas unsur tekstual gestural yang terlihat dan terbaca dari alat bukti dan barang bukti. Cara berfikir, bertindak, dan memutusakan hanya bersumber dari sana.

Namun untuk memahami teks otoritas, teks pemberi pesan alih-alih sebatas membaca dari sana Schleiermacher dan Paul Recour menawarkan strategi pemahaman berbeda, dengan membaca diantara kalimat-kalimat yang ada diantara itu, hal mana kompleksitas konteks kehidupan para perumus teks otoritatif dan pemberi pesan tersebut ada dan tersembunyi dalam ruang antara kalimat-kalimat.

Pemahaman teks harus ditempatkan dalam konteks spasial dan temporalnya kehidupan yang melahirkannya. Gelar persidangan menjadi sarana merekonstruksi kejadian, menciptakan dan mencari kembali persesuaian hubungan faktual pelaku dan korban dalam simulasi peristiwa yang telah lalu terjadi dalam teks dan konteks gramatikalnya sehingga dapat menghadirkan makna yang seutuhnya tersembunyi disana.

Dengan hadirnya Film : Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso peristiwa yang terjadi di KAFE OLIVIER GRAND INDONESIA, JAKARTA pada tanggal 06 Januari 2016 kembali menyita perhatian khalayak banyak, mendapat sorotan dan membentuk serta menggiring opini publik dengan logika dan pengadilan rakyat (trial by the press) yang terbelah menjadi dua bangunan pemikiran yang berdiri kokoh saat ini.

Orang tidak akan menolak lupa suatu peristiwa hukum yang telah dijalankan proses persidangannya (hukum) dengan memakan waktu begitu lamanya, hingga Hakim berdasarkan putusannya yang meskipun inkracht van gewijsde tidak dapat menghalau tanda tanya kebenaran, keadilan, kepastian dan kemanfaatan atas hal yang telah terdokumentasi oleh media, difilmkan, dipertontonkan dan dipertanyakan kembali kapan saja jika mereka mau.

Prinsip hukum Res judicata pro veritate habetur yang tercipta dan diperkuat dalam ruang lingkup konsensus kehidupan norma tidak mampu menenangkan kecenderungan rasa penasaran jutaan manusia mengenai peristiwa 06 Januari 2016 tersebut. Namun tidak bermaksud menyangsikan ruang tanda tanya ini, setiap orang bernyawa perlu merefleksikan lebih dalam makna daripada eksistensi apa itu hukum dan bagaimana seharusnya menghukum?.

Peristiwa kematian Wayan Mirna Salihin telah menjadi ujian moral bagi hukum. Terkadang menghukum tergoda oleh hal-hal yang diduga dapat ditransaksikan seperti bisnis kata persepsi pemberi pesan. Cita rasa peristiwa tersebut terlihat rumit, pahit, menjijikan, panas dan terkesan buta.

Indera hukum seolah-olah atau bahkan tidak tajam melihat, mengalami, mendengar (Vide : Ps. 1 angka 26 KUHAP), merasakan dan mencium bauh kepastian akan kebenaran yang terjadi pada peristiwa 06 Januari 2016 di KAFE OLIVIER. Ataukah melalui penginderaan hukum yang tajam telah ditemukan faktanya bahwa kematian Wayan Mirna Salihin cukup dengan pemahaman dalam dominasi keyakinan hakim atas rangkaian bukti yang sekedarnya saja, meskipun terdapat klasifikasi alat bukti hukum yang harusnya beyond reasonable doubt dan menjadi dasar pertimbangan hakim (ratio decindendi) dalam mengambil keputusan menghukum sebagaimana sistem pembuktian yang disepakati dan dianut KUHAP yakni Negatief Wettelijk bewijs stelsel (vide : Ps. 183 Jo Ps. 184 KUHAP).

Indonesia merupakan Negara Hukum yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke – 4 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (3) Menegaskan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Tentu apapun yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan dalam kualifikasi etika dan perilaku telah diatur sedemikian dalam tatanan tertulis norma-norma hukum beserta turunannya secara vertikal maupun horizontal.

Harapannya adalah untuk menentukan seseorang bersalah secara hukum wajib melalui Sistem Peradilan Pidana (the criminal justice system) melalui proses peradilan yang adil (due process of law), peradilan yang jujur (fair trial) sehingga mencapai tujuan filosofis hukum yakni kebenaran dan keadilan. Proses peradilan tidak serta merta melalui suatu mekanisme teknis yang dilakukan Aparat Penegak Hukum dengan dipahami secara sederhana.

Jay M. Fienman menyebut, “A first value of criminal procedure is truth-seeking. The criminal process should identify, apprehend and punish persons who have committed criems, but also should exonerate those who have not committed criems. Truth-seeking is an important value at every stage of criminal process. It certainly is important in the final determination of guilt or innocence in the trial, vut it also applies at earlier stages of the process.”

KUHAP telah mengatur tata-cara yang benar dan adil untuk memberikan kepastian hukum manakala menyatakan seseorang benar bersalah secara hukum. Merujuk pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pengaturan tersebut memperhatikan klasifikasi alat bukti yang sah diatur Pasal 184 KUHAP :
Keterangan Saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.

Hal berbeda dalam menimbang eksistensi Postulat latin “In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariores” Asas Legalitas, Asas Geen Straf Zonder Schuld, Asas Presumption of innocence, Asas Equality before the law, Asas In dubio pro reo dan lain sebagainya dalam Sistem Pembuktian pada Peradilan di Indonesia menjadi menarik, oleh karenannya maka akan sangat tepat jika dipahami secara kompherensif dan kontemplatif bunyi Pasal 183 KUHAP dengan metode interpretasi yang benar dalam membelah makna daripada teks dan konteks yang terkandung dalam rumusan tertulis tersebut.

Hermeneutik Yuridis bertanggungjawab atas pertimbangan penafsiran teks-teks legal Undang-Undang, menariknya Ronald Dworkin dalam karyanya berjudul A matter of principle dan Law’s empire pernah menegaskan bagaimana hermeneutika hukum bekerja, “interpretasi teks hukum atau interpretasi literer merupakan interpretasi estetis, yakni, suatu interpretasi terhadap suatu literature yang mencoba menunjukan cara pembacaan mana yang memungkinkan agar teks itu mengungkapkan diri sebagai karya seni dengan cara yang terbaik, pengungkapan karya seni sebagai hasil daripada interpretasi hukum ini berkaitan dengan integritas hukum atau jati diri hukum.”

Makna frasa Teks Pasal 183 “Hakim tidak dapat menjatuhkan Pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan” tidak sederhana dan mudah artinya. Jika ada suatu peristiwa hukum yang dihadirkan ke pengadilan direkonstruksi, diperiksa, dikaji melalui penalaran dan logika hukum, kemudian untuk menarik kesimpulan yang benar secara hukum tentu hakim membutuhkan suatu ruang reflektif dan kontemplatif sebelum mengambil keputusan, jika tidak memenuhi syarat minimal 2 (dua) alat bukti yang kemudian hakim memperoleh keyakinan, “untuk suatu keyakinan hakim baru dapat menemukan setelah adanya 2 alat bukti yang melalui interpretasi, dikritisi, dikaji, diperiksa, dipilah-pilih, diseduh hingga pada akhirnya ia menemukan sari-pati kemurnian di kedalaman batin adanya perasaan yang begitu kuat akan suatu peristiwa hukum konkret untuk memutusakan tentang keyakinannya akan kesalahan atau dapat dicelahnya daripada peristiwa itu.”

Hal ini bersesuaian dengan sistem pembuktian yang dianut oleh Hukum di Indonesia yakni Sistem Pembuktian Negatif atau Negatief Wettelijk Bewijs Stelsel. Ada suatu adagium yang menyatakan “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah,” hermeneutik yuridis dan logika hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung atas asas In Dubio Pro Reo yang pernah dituangkan secara normatif dalam putusan Mahkamah Agung No. 33 K/MIL/2009 yang salah satu kaidah hukumnya mempertimbangkan “Jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa bersalah atau tidak, maka sebaikanya diberikan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa, yakni dibebaskan dari dakwaan.”

Selaras dengan hal tersebut Soebekti menyatakan :
“Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willkeur) akan timbul apabila hakim, dalam melaksanakan tugasnya itu, diperbolehkan menyadarkan keputusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti.”

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184 (KUHAP) Klasifikasi alat bukti tidak menunjukan dan menjelaskan secara tegas dan tertulis hierarkis tentang kekuatan pembuktian mana yang paling kuat dan benar, namun dalam kebiasaan secara inheren peradilan adapun penilaian tersirat bahwa kekuatan pembuktian tersebut dapat dibaca berdasarkan urutan klasifikasi alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tentu menjadi jelas dan mengarah pada adagium Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist artinya “Saat ada suatu bukti dari fakta-fakta, apa gunanya kata-kata?.” Aristoteles melalui ungkapannya, “Menyatakan yang ada tidak ada, atau tidak ada yang ada adalah salah, sedangkan menyatakan ada yang ada dan tidak ada yang tidak adalah benar” hal lain diteguhkan oleh Thomas Aquinas yang terkenal meletakan dasar kebenaran melalui prinsip logika dengan menyatakan dalam korespondensi teks sebagai berikut “Adaequatio rei et intellectus” yang artinya “Kebenaran merupakan kesesuaian antara kata-kata pikiran dan bukti-bukti fakta.”

Menghukum berdasarkan hukum tidak dapat dilakukan melalui pesanan, transaksi, pembayaran untuk keputusan. Menghukum memiliki tata-cara dan prosedur yang telah ditetapkan begitu terang dan jelas secara formil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hari dimana anda dinyatakan bersalah atas suatu perbuatan yang diinterpretasi, dinilai, dimaknai, dikaji, hingga kemudian diputuskan atas perilaku melawan/melanggar hukum karena kejahatan atau kelalaian tentu menjadi hari yang suram “gloomy day” namun ketika suatu keputusan begitu terang, tegas, jelas, benar dan adil dapat dipahami secara sadar, hari itu akan merubah apapun yang paling buruk sekalipun menjadi lebih baik dan damai.

Praktisi, Ahli dan Para Pakar yang berkait-kait pengetahuannya tentang hukum tentu pernah membaca postulat “In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariores,” jika cukup aksioma ini menjadi unsur esensial dalam membuat suatu Putusan terhadap seseorang karena perbuatan jahatnya, tentu pertimbangan itu telah melalui proses yang dapat dipastikan kebenaran dan keadilannya dalam hukum.

Dalam beberapa wacana media mempertontonkan obrolan para pakar dengan latar pemahaman masing-masing tentang peristiwa 06 Januari 2016 di KAFE OLIVIER tersebut yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang yang bernama Wayan Mirna Salihin. Salah satu Profesor kebanggaan yang juga merupakan Wakil Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum., adalah salah seorang ahli yang dihadirkan secara langsung dalam gelar persidangan dengan sebelumnya menonton bukti 9 CCTV (hard evidence) atau bukti kuat yang menurutnya terdapat 30 (tiga puluh) hard evidence membuatnya begitu yakin untuk suatu pernyataannya yang dapat dipertanggungjawabkan mengarah dan menunjukan kepada bersalahnya Jesissca Kumala Wongso sebagai pembunuh dalam peristiwa dimaksud dengan Circumstantial evidence atau lazimnya disebut bukti petunjuk (Vide Ps. 184 huruf d KUHAP), yang dapat dijelaskan adalah bukti yang tidak langsung menunjuk kepada pelaku tetapi bukti-bukti yang mengarah kepada pelaku melalui suatu penarikan kesimpulan.

Hal ini menarik jika dihubungkan dengan pendapat Ahli Toksikologi Forensik Prof. Dr. I Made Agus Gelgel dengan pendekatan forensiknya berdasarkan reaksi penetralan untuk mengetahui kapan racun sianida dimasukkan ke dalam gelas es kopi Vietnam.

Hal berbeda menyeruak dan bersuara dari sudut terdakwa Jesissca Kumala Wongso melalui pengacaranya Prof. Dr. Otto Hasibuan S.H., M.H. dengan keyakinan 99,999… % Terdakwa tidak bersalah dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya disetiap dialektika terkait permasalahan tersebut.

Ayah Korban Wayan Mirna Salihin pun dengan 100% keyakinannya bahkan bersedia nyawa menjadi taruhannya membuat pernyataan yang cukup tajam “bahwa Jesissca Kumala Wongso adalah pembunuh berdarah dingin yang berkarakter sangat tenang, laydetektor pun bisa tidak dapat mendeteksi ia adalah pembunuh”, berani menyebut beberapa nama secara jelas yang saat ini telah menjadi purna dalam tugas dan aktif dalam tugas sebagai Jenderal dengan Jabatan penting. Masing-masing benar dengan eksistensi dan perjuangannya dalam membuktikan siapa bersalah secara hukum yang menyebabkan matinya korban Wayan Mirna Salihin pada hari ke 28 Oktober 2016.

Dr. Hotman Paris Hutapea S.H., M.Hum seorang pengacara kondang yang dijuluki The Blink Blink Lawyer pun turut berkomentar dan berkeyakinan bahwa tidak ada bukti yang cukup sempurna untuk membuktikan bersalahnya Terdakwa dengan pertanggunganjawab pidana penjara selama 20 Tahun atas perbuatan yang menyebabkan kematian Wayan Mirna Salihin dengan menarik perhatian Publik untuk mengikuti proses atau upaya permohonan Grasi (Vide Pasal 14 ayat 1 UUDN RI Tahun 1945 Jo. Ps. 1 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2002) lebih lanjut kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Hj. Joko Widodo.

Jessisca Kumala Wongso tentunya secara subjektif paling mengetahui kebenarannya dari apa yang terjadi pada peristiwa itu. Aparat Penegak Hukum, Para Ahli, Pakar keilmuan yang ditarik dalam peristiwa ini tentu menjadi sorotan alih-alih tidak melihat, mendengar dan mengalami an sich secara langsung sebagaimana seharusnya apa yang terjadi dan siapa yang menyebabkan terjadinya, dimana dan kapan terjadinya serta bagaimana terjadinya; namun atas dasar kompetensi keahilan dapat menarik serpihan puzzle-puzzle yang tercerai berai dalam suatu kesimpulan yang dipertanggungjawab berdasarkan sertifikasi kompetensi keilmuan entah membenarkan kematian disebabkan dan/atau menegasikan akibat kematian tersebut disebabkan oleh pelaku Jessica Kumala Wongso.

Peristiwa ini akan menjadi hangat dan terus diperbincangkan dalam dialektika argumentatif mungkin berkepanjangan untuk 2 (dua) sudut pandang dalam satu tanda tanya Siapa yang melihat Jessisca Kumala Wongso menaruh racun sianida ke dalam gelas Es Kopi Vietnam yang diminum Wayan Mirna Salihin?. Tentu jawaban-jawaban atas tanda tanya ini beragam dan seperti dipilih berdasarkan persesuaiannya yang paling kuat dan mendasar atas peristiwa. Setiap aparat penegak hukum Advokat/Pengacara, Polisi, Jaksa (Pengacara Negara), Hakim dalam sistem peradilan pidana di pengadilan mewakili sebagaimana tugas dan tanggungjawabnya secara fungsional masing-masing kepentingan hukum pihak yang ada disana.

Mereka mewakili untuk menghadirkan materi secara substansi baik faktual maupun teoritik dalam rangkaian bukti-bukti argumentasi dengan interpretasi strategis atas maksud dan tujuan mengupayakan menggeser kepentingan lain dari atas tribunal dalam gelar persidangan di Pengadilan hukum. Begitupun sebalikanya mempertahankan agar tetap kokoh berdiri diatas tribunal.

Setiap upaya merupakan perwakilan pihak yang menuntut hak atas kerugian yang disebabkan oleh pihak lain terhadap nyawa yang berbusa mulutnya, kejang, lemas, panas, pusing, pahit dan tergeletak tak berdaya dalam pelukan pertolongan sahabat setelah menyeduh Es Kopi Vietnam di Kafe Olivier Grand Indonesia, Jakarta dan nasib seseorang diatas pesakitan yang akan menjadi nyata terkulai lemas dibalik jeruji besi tanpa kebebasan dan kebahagiaan seperti sediakala.

Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi (Supreme Court of the Republic of Indonesia) selaku Pemberi Pesan tekstual dalam konsistensi Putusannya telah menetapkan bersalahnya seseorang secara sah dan meyakinkan melalui Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht Van Gewijsde) bahkan pada level Peninjauan Kembali. Mahkamah begitu yakin atas Es, Kopi, Sianida, Pelaku, Korban, Saksi (bahkan tidak melihat), Keterangan Ahli Kedokteran Forensik (Visum et Repertum VeR), Keterangan Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psikatrikum VeRP), Petunjuk, Keterangan Terdakwa dalam Pleidooi bahkan ketika dibaca terlintas begitu tulus dan meyakinkannya ia benar tidak membunuh meskipun adanya Hak Ingkar (Vide Ps. 52 KUHAP) yang diberikan hukum bagi Terdakwa untuk tidak harus mengakui perbuatannya, hal ini selaras dengan ungkapan Aristoteles menyebutkan, “Thus, the litigant will sometimes not deny that a thing has happened or that he has done harm. But that he is guilty of injustice he will never admit; otherwise there would be no need for trial”; dengan keyakinan yang bulat dan kokok Mahkamah merumuskan suatu Putusan yang di tutup dengan ketokan Palu pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada Jessisca Kumala Wongso dengan beban penderitaan yang wajib dijalankan selama 20 Tahun penjara atas pembunuhan yang bahkan mata kejujuran pun tidak dapat melihat masuknya sianida tersebut ke dalam gelas es kopi Vietnam yang disedot korban Wayan Mirna Salihin.

Rangkaian kenyataan historis, kronologis, faktual dan yuridis dari peristiwa 06 Januari 2016 telah mencapai final dalam upaya normatif menuju akhir jika demikian Grasi tidak mengalami perubahan apapun atas putusan yang menghukum pelaku sebagai sah pembunuh. Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur diperhadapkan dengan Asas In Dubio Pro Reo yang dijelaskan dan dimaknai harus ditegakan, tentu tidak tanpa alasan daripada marwah sebagai negara hukum menjadi pertaruhannya.

Putusan hakim harus dianggap benar di lain sisi namun jika ada keraguan mengenai suatu hal, hakim memutus dengan meringankan Terdakwa. Putusan tersebut dibacakan dalam kesakralan Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sifat absolut Final dan Mengikat daripada Putusan hakim yang inkracht van gewijde tidak dapat dimintakan atau tidak dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan manapun.

Putusan ini telah menjadi sumber wewenang prosesuil (teori hukum acara) (Baca. Sudikno Mertokusumo. 2006, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar). Hakim merupakan kongres tunggal yang mendapatkan kekuasaan langsung dari Tuhan berkenaan atau merujuk pada Title Eksekutorialnya. Dalam kaitannya dengan peristiwa pembunuhan beracun sianida berdasarkan rangkaian alat-alat bukti; keterangan ahli, surat, barang bukti (hard evidence) Es, Kopi Vietnam, Sianida, pemeriksaan keahilan dan identifikasi faktual lainnya hakim tentu telah berkeyakinan sebagaimana berdasarkan minimal syarat 2 alat bukti, yang diberikan dengan persesuaian (relevansi) yang dapat diterima dengan kesimpulan bahwa kebenaran formil tidak lepas dan saling terkait dengan kebenaran materilnya dari kemungkinan yang tidak dapat disangkal menemukan keyakinan untuk memutuskan bersalahnya seseorang yakni Jessica Kumala Wongso sebagai pelaku pembunuhan atas kematian Wayan Mirna Salihin.

Mengakhiri tulisan ini penulis mengutip ungkapan yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum “Nabi Muhammad sebagai suri tauladan yang baik ada suatu ketika seorang kafir Quraisy dituduh mencuri jubah perangnya Ummar bin Khattab, kemudian setelah ditangkap Kafir Quraisy kemudian mengaku bahwa dia betul yang mencuri dan seluruh penduduk Mekah pada saat itu juga mengenal betul bahwa jubah itu milik Ummar bin Khattab, tetapi kemudian ketika sampai di depan Nabi, ditanyakan oleh Nabi kepada Ummar bin Khattab begini, ‘Ummar kamu memiliki berapa saksi?’ jawab Ummar, hanya satu saksi ya Rasulullah, kemudian dengan tegas Nabi berkata ‘Ummar, kamu kalah, saya butuh minimal dua orang saksi.” Unus Testis Nullus Testis (Pasal 300 HIR Jo. Pasal 169 HIR Jo. Pasal 185 ayat 2 KUHAP Jo. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004…)
Sebagaimana ilustrasi tersebut cukup beralasan untuk menyatakan bahwa menentukan seorang bersalah secara sempurna tidak mudah. Perlu suatu Sistem Peradilan yang kokok dengan Organ-Organ (Aparat Penegak Hukum) yang memiliki integritas kompetensi keahlian dan kebijaksanaan kuat, juga memperhatikan landasan dasar seperti dapat disebutkan misalnya Asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege, Asas Geen Straf Zonder Schuld, Postulat In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariores, Pemahaman yang baik dan benar terhadap hukum, peraturan norma, undang-undang beserta turunannya dan mencocoki persesuaian materialnya dengan alat bukti dan barang bukti lain-lain sebagainya karena tidak dapat dilakukan dengan serta merta meskipun telah ada potensi yang mengarah dapat menghukum seseorang tersebut menjadi bersalah dan mempertanggungjawabkan kesalahannya.

Proses terakhir untuk menentukan bersalah atau tidak seorang terdakwa pada akhirnya harus berdasarkan pada kebenaran materiel atau kebenaran hukum, tidak berdasarkan asumsi, prasangka, dan atau tekanan masyarakat. Hukum mengatur syarat untuk menghukum seseorang adalah perbuatan yang didakwakan harus terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini harus dilakukan melalui suatu proses peradilan yang sesuai dengan hukum acara dan menggunakan proses pertimbangan hermeneutik yuridis atas bahasa tekstual, verbal maupun gestural/gesture yang merujuk pada konteks yang diargumentasikan dengan tepat. Mungkinkah anda akan terus berada dalam tanda-tanda tanya (?).

PENULIS : MARTINUS TANGA LERO, S.H.
PEKERJAAN : Advokat/Konsultan Hukum, Penulis/Penyair.
Email : mrtnlero@gmail.com
Instagram : martinlero22

To Top