Komunitas
Pencabutan Subsidi BBM, Korpma GPII Nilai Dapat Tingkatkan Ekonomi Asal Tepat Sasaran
Pencabutan subsidi BBM terus menjadi sorotan di kalangan masyarakat, tak terlepas dari kalangan Korps Mahasiswa (Korpma) Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang membahasnya dalam diskusi publik dengan tema ‘Menelaah Pencabutan Subsidi BBM Demi Meningkatkan Ekonomi pasca Pandemi Serta Tepat Sasaran’.
Diskusi yang digelar di salah satu resto di bilangan Jakarta pada Jumat (16/9/2022) dihadiri narasumber diantaranya, Direktur Eksekutif LEMI PB HMI, Sudirman Hasyim, Ketua Dewan Pembina KMR, Iwan Bento, dan Ketua Umum DPP SESMI, Sanusi Pani.
Ketua Korpma GPII Muhammad Husni dalam sambutannya menyampaikan alasan tema diskusi ini lantaran tak dipungkiri harga BBM akan diprediksi naik.
“Saya ingin sampaikan adalah, kenapa Korps Mahasiswa mengambil tema ini adalah dari hasil kajian internal kami, karena dari tahun ke tahun BBM ini akan selalu naik, tapi yang jadi persoalan adalah siapa yang akan menggaransi subsidi BBM itu tepat sasaran,” ungkapnya.
Selain itu, Husni Juga menyampaikan bahwa keadaan ekonomi Indonesia saat ini masih dalam proses pemulihan dari dampak Covid-19, oleh karena itu dalam tema ini juga dibahas tentang peningkatan ekonomi Indonesia pasca pandemi.
“Nah ini adalah dasar dari kita Korpma GPII melakukan diskusi sehingga mendapatkan poin-poin strategis yang dapat kita ambil dari pemateri, sehingga ini kita bisa wujudkan bersama bahwa kenaikan BBM adalah hal langkah terbaik dari pemerintah,” imbuhnya.
Sementara, Ketua Umum PP GPII, Masri Ikoni mengatakan, Indonesia pernah mengalami kelangkaan BBM akibat permainan harga yang dilakukan mafia. Namun, di era Jokowi diakuinya tidak terjadi
“BBM dulu dijadikan sebagai instrumen politik, seperti apa yang kita kenal dengan politik BBM karena dulu harga BBM dimainkan. Dulu pernah kita dengar Indonesia kelangkaan BBM, sekarang pernah ngga kita dengar?” tanyanya kepada audiens.
Ia pun merinci soal perdebatan subsidi BBM dari era Presiden SBY dan Jokowi. Menurutnya, di era Jokowi masih terbilang ekonomis.
“Hari ini pun Pertralite masih di subsidi Rp 5000, harga keekonomiannya sekitar 15 ribuan. Hari ini pemerintah masih taruh 10 ribu, zaman pak SBY, harga BBM terakhir enam ribu lima ratus. Berarti selama 2 tahun periode pak Jokowi hanya menaikan harga BBM Rp 3.500,” ujar Masri.
Masri kemudian menutup tanggapannya dengan mengungkapkan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang mengupayakan Subsidi BBM yang lebih tepat sasaran.
“Kita ini pasti ingin negara kita seperti Qatar, yang ketika kita lahir sudah disiapkan uang puluhan juta hingga ratusan juta, semuanya, termasuk rumah kita sudah disiapkan dengan subsidi pemerintah. Saya rasa kita semua ingin kehidupan kita disubsidi oleh negara, benar? Saya pun menginginkan itu. Tapi, ketika subsidi itu tidak tepat sasaran, itulah yang kita tolak,” tandasnya.
Di sisi yang sama, Ketua Dewan Pembina KMR, Iwan Bento Wijaya menyebutkan kondisi minyak dunia saat ini tengah mengalami krisis bahan bakar minyak, sehingga juga berdampak pada kenaikan harga BBM di Indonesia. Apalagi diprediksi tahun 2030 cadangan minyak di Indonesia akan habis. Maka itu, meski subsidi BBM dicabut, langkah pemerintah tetap masih dalam kestabilan perekonomian di Indonesia.
“Cadangan minyak bumi Indonesia hanya sampai 2030, oleh karena itu agar Indonesia tidak tergantung sama minyak makannya Indonesia harus memanfaatkan energi lain. Secara maritim, laut Indonesia itu sangat luas hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk menciptakan pembangkit listrik tenaga air atau tenaga matahari,” ujarnya.
Ketua Umum DPP SESMI, Sanusi Pani pun dalam paparannya mendukung langkah pemerintah mencabut subsidi BBM asalkan dialihkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Menurut saya, solusi yang paling tepat yang dapat dilakukan pemerintah dalam pencabutan subsidi BBM ini adalah dengan mengalihkan subsidi kepada sektor ekonomi atau UMKM yang terdampak kenaikak BBM ini,” pungkasnya.
Senada, Direktur Eksekutif LEMI PB HMI, Sudirman Hasyim juga mengatakan, terdapat 3 langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas fiskal di APBN.
“Pertama, wajib menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Kedua, wajib menyediakan bantalan pengaman sosial bagi masyarakat dan ketiga, wajib melakukan reformasi,” tuturnya. (Red)