COBLOS
Airin & Pemikiran Lawrence Tubs
KETIKA ekonomi dunia bergolak, Lawrence Tubs seorang praktisi yang juga mantan jurnalis punya analisis menarik soal kepemimpinan perempuan. Dalam artikelnya “Dekade Ekonomi Dunia†ia mengatakan, bahwa perubahan ekonomi, apalagi sebuah wilayah (admistratif khususnya perkotaan) ternyata juga dipengaruhi oleh kaum perempuan.
Menurut Tubs, kepemimpinan perempuan mampu menghancurkan dogma patriarki yang masih banyak mendominasi di manapun. Tubs memperkirakan kepemimpinan perempuan akan menyusul laki-laki. Kepemimpinan perempuan akan menjadi kekuatan “pendobrak.â€
Negara ataupun perusahaan yang dipimpin oleh perempuan, ataupun manajemennya kebanyakan perempuan, justru lebih baik kinerjanya, kata Tubs disalah satu paragraf artikelnya.
Studi lain menunjukkan bahwa perempuan lebih mampu berfikir secara holistik, yakni cara berfikir yang menekankan pentingnya keseluruhan dan saling keterkaitan dari bagian-bagiannya.
Jika holistik ini digunakan dalam konteks pelayanan kepada orang lain yang membutuhkan, maka memiliki arti bahwa layanan yang diberikan kepada sesama atau manusia secara utuh, baik secara fisik, mental, sosial dan spiritual mendapat perhatian seimbang.
Apa hubungannya pemikiran Tubs ini dengan Airin Rachmi Diany, yang memimpin Tangsel dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Mungkin agak berlebihan, tetapi masih sangat rasional jika dikaitkan.
Dalam berbagai kesempatan, Airin mengaku selama waktu berjalan, dia belajar dari pengalaman. “Saya belajar dari pengalaman lima tahun ini. Dengan tetap saya tidak menafikkan sejumlah kekurangan, saya akui itu. Tapi itu semua bagian dari proses,†akunya kepada penulis, Kamis (27/8/2015).
Dalam rekam jejak perjalanannya memimpin Tangsel, gaya Airin menerapkan kepemimpinan feminin. Meski harus diakui, terkadang kepemimpinan feminin seringkali terjebak pada apa yang disebut maskulinisme politik, gaya kepemimpinan maskulin. Sederhana alasannya, karena banyak pihak menganggap politik dan kekuasaan diklaim sebagai ranahnya maskulinisme.
Airin, yang juga secara politik menjadi pemimpin yang berkuasa, acapkali terbentur dengan tidak adanya pilihan, sampai ia terkadang terpaksa mengikuti permainan dan masuk dalam pusara kelaziman, yang membuat sosoknya dipaksakan jauh dari nilai-nilai moral, etik dan kemanusiaan. Akan tetapi tetap saja, sisi perempuannya terlihat.
Airin berusaha bertahan dari jebakan-jebakan pusara-pusara kelaziman tersebut. Dalam sisi tersuratnya, ia selalu menampakkan keteguhan sikapnya, mempertahankan apa yang diyakininya benar. Ekspetasinya memegang nilai-nilai terlihat kuat.
Gaya kepemimpinan Airin inilah adalah memimpin dengan membuat arusnya sendiri. Mengajak orang-orang di sekelilingnya ikut arus baru yang dibuatnya. Yakin, gaya memimpin Airin, menjadikan salah satu cara dia meninggalkan nilai-nilai mainstream kepemimpinan yang terlanjur terkontaminasi oleh beragam penyimpangan atas nama politik dan kekuasaan.
Kini dalam momentum Pilkada, Airin menjadi bulan-bulanan berbagai pihak dengan melontarkan isu-isu negatif, mulai dari isu korupsi yang mendera suaminya, kakak iparnya, tudingan menggunakan aparat birokrasi sebagai tim pemenangan lantaran dia petahana, dan banyak hal lainnya.
Sementara kinerja positif bersama Benyamin Davnie, dinafikkan, sementara kita tak bisa pungkiri, menikmati pula hasil kerja-kerja Airin bersama Benyamin Davnie.
“Secara pribadi sudah yakin, banyak pihak akan melontarkan isu-isu negatif kepada saya. Tapi inilah politik, ambil hikmahnya. Saya dan Pak Ben beserta seluruh tim tetap berikhtiar,†tegasnya.
Inilah yang dimaksud Tubs, bahwa perempuan lebih berfikir holistik, kendati Airin bisa jadi terjebak dalam pusaran politik yang menggiringnya jauh dari sisi etika, justru ia tetap memilih arusnya sendiri. Tetap menjadi seorang istri, ibu dan walikota! (SNY/*)