COBLOS
Caleg Gagal Berpotensi Stres, Waspadai Risiko Gagal Jantung
18.143.23.153- Kegagalan seusai pemilihan umum menjadi stresor (pemicu stres) yang besar bagi para calon anggota legislatif (caleg). Jika tidak dikelola dengan baik, stres bisa menimbulkan depresi yang andaikata terjadi dalam waktu lama, dapat memicu kematian akibat gagal jantung. Mengapa demikian?
Menurut sebuah studi baru asal Norwegia, depresi dapat meningkatkan risiko gagal jantung. Penderita depresi dalam studi tersebut, yang diikuti selama 11 tahun secara konsisten, menunjukkan perkembangan terhadap gagal jantung.
Dibandingkan dengan orang tanpa depresi, mereka yang memiliki gejala depresi ringan lebih mungkin untuk mengembangkan gagal jantung. Risikonya mencapai 5 persen. Sementara itu, mereka dengan gejala depresi berat bahkan mengalami peningkatan risiko hingga 40 persen.
Lise Tuset Gustad, peneliti studi sekaligus perawat di Lavenger Hospital di Norwegia, menjelaskan, hal itu terjadi karena depresi memicu hormon stres. Saat kadarnya meningkat dalam tubuh, maka tubuh akan meresponsnya dengan meningkatkan frekuensi bernapas.
“Selain itu, hormon stres juga menyebabkan inflamasi dan pembentukan plak di arteri, yang mempercepat penyakit jantung,” ujarnya.
Sedangkan Dokter spesialis kejiwaan dari RS Omni Alam Sutera, dr Andri, berpendapat, stres—yang mungkin dialami caleg—dipengaruhi oleh banyak faktor. Yang paling mendasar, karena ia akan menerima kekalahan atau kegagalan.
Hal lainnya, menurut Andri, adalah tidak dapat membayar utang kampanye dan menepati janji yang dibeberkan selama masa kampanye. Namun terlepas dari penyebabnya, caleg yang stres perlu segera menyadari tanda-tanda di dalam tubuhnya.
Semakin cepat ditangani, stres semakin mudah hilang. Lise Tuset Gustad mengatakan, gejala awal depresi antara lain adalah kehilangan minat dan kenyamanan melakukan sesuatu yang biasanya terasa menyenangkan. Jika sudah seperti itu, maka seseorang pun perlu memeriksakan diri ke dokter.
Depresi dapat disembuhkan dengan mudah pada tahap awal, bahkan tidak semua orang membutuhkan pengobatan.
“Bicara pada dokter mungkin satu-satunya hal yang harus dilakukan,” katanya. (tro/to)