Connect with us

Eksistensi DPRD Tangsel Jadi Mitos

Opini

Eksistensi DPRD Tangsel Jadi Mitos

Penulisan judul “Eksistensi DPRD Tangsel Jadi Mitos” sengaja diangkat untuk menggarisbawahi kian kaburnya peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) khususnya Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dalam kehidupan masyarakat. Secara formal, DPRD adalah lembaga legislatif yang punya kekuatan hukum, kewenangan anggaran, serta fungsi kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Namun, jika kita menilik realitas di lapangan, keberadaan DPRD Tangsel seperti hanya hadir dalam struktur, tetapi tidak tampak dalam kerja-kerja substantif. Dalam kata lain, eksistensi mereka telah menjelma menjadi mitos—”ada tapi tiada”.

Untuk memahami penggunaan istilah “mitos” dalam konteks ini, kita dapat mengacu pada pemikiran Roland Barthes, seorang filsuf asal Prancis. Dalam bukunya Mythologies, Barthes menjelaskan bahwa mitos adalah bentuk komunikasi, bukan sekadar cerita fiksi. Mitos berfungsi mengaburkan realitas dan menyulapnya menjadi sesuatu yang seolah-olah alamiah atau tak terbantahkan. Dalam konteks DPRD Tangsel, “mitos” mengacu pada persepsi umum bahwa lembaga ini bekerja untuk rakyat, padahal kenyataan menunjukkan bahwa fungsinya nyaris tak terasa, mungkin terasa sedikit bagi konstituennya bagi yang bukan dari konstituen, apa masih terasa adanya anggota DPRD di Tangsel ?

Secara normatif, DPRD memiliki tiga fungsi utama: pengawasan, penganggaran, dan pembentukan peraturan daerah. Namun, dalam praktiknya di Kota Tangerang Selatan, ketiga fungsi ini seperti kehilangan maknanya.

Pertama, fungsi pengawasan. DPRD seharusnya mengontrol pelaksanaan program-program pemerintah kota agar berjalan sesuai aturan dan berpihak pada masyarakat. Tetapi kenyataan di Tangsel menunjukkan hal sebaliknya. Banyak fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang belum diurus secara tuntas oleh pemerintah kota, kemudian baru-baru ini kasus dugaan korupsi yang sempat menjadi perhatian Kejati Banten, bahkan sampai ada dugaan praktik monopoli parkir oleh salah satu perusahaan, belum lagi program-program yang secara aturan harus dilaksanakan, malah jadi konsep-konsep konsultan perencanaan saja. Ini menunjukkan lemahnya fungsi kontrol dari dan eksistensi DPRD terhadap eksekutif, khususnya dalam mendesak penertiban dan pemeliharaan aset publik, serta pembangunan yang semestinya menjadi hak warga.

Kedua, fungsi penganggaran. DPRD memiliki kewenangan dalam menyetujui dan mengevaluasi anggaran daerah. Namun, problem klasik seperti penanganan sampah dan banjir yang tidak tuntas dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa anggaran yang disahkan tidak diiringi dengan perencanaan dan pengawasan yang tepat. Dinas-dinas teknis di bawah Pemkot Tangsel tampak bekerja sendiri tanpa ada evaluasi kritis dari DPRD atas capaian dan efektivitas penggunaan anggaran. Baru merespon jika ada kritikan dari masyarakat layaknya pemadam kebakaran, hadir jika ada terjadi kebakaran.

Ketiga, fungsi legislasi atau pembentukan peraturan daerah. DPRD memiliki hak inisiatif dalam menyusun peraturan yang menyentuh kepentingan masyarakat. Namun, selama beberapa tahun terakhir, produk hukum yang dihasilkan cenderung minim dan kurang relevan dengan kebutuhan mendesak masyarakat, seperti peraturan tentang tata ruang yang berpihak pada lingkungan, atau regulasi inovatif yang mampu mengatasi persoalan sosial ekonomi warga, seharusnya anggota DPRD bisa memberikan solusi kebijakan bagi warga yang terkena dampak ekonomi baik para pelaku UMKM maupun pemberhentian kerja (PHK) yang saat ini banyak terjadi akibat dari kebijakan kenaikan pajak, efisiensi, dan lain sebagainya.

Ketidakhadiran fungsi-fungsi utama ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tangsel memperkuat asumsi bahwa DPRD hanya eksis dalam dokumen dan seremoni. Kinerja yang tidak terasa, suara yang tidak terdengar, serta kebijakan yang tidak membumi, membuat lembaga ini menjelma layaknya mitos yang terus diceritakan, namun tak kunjung tampak wujud nyatanya.

Pada akhirnya eksistensi DPRD Kota Tangerang Selatan sudah bergeser dari realitas menuju simbol. Ia menjadi mitos dalam pengertian Barthes—sebuah ilusi yang dibungkus oleh rutinitas formal dan jargon demokrasi, namun kosong dalam isi. Jika tidak segera dibenahi, DPRD Tangsel bukan hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga kehilangan legitimasinya sebagai wakil rakyat.

Penulis : Hairil Anuar, Ketua BPD HIPKA Tangerang Selatan

1 Comment

1 Comment

  1. Debu

    8 April, 2025 at 22:29

    Setuju dg kajian anda, tapi hrsjya di dalami apa sebab? Krn individu anggota DPRD dikendaklikan oleh partainya artinya jk sdh ada deal politik maka tdk ada yg akan berani bersuara beda keculai siap diganti tengah jalan maaf kalau analisa sy jadi silahkan tanya emrka apa sebab??

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top