Connect with us

Meningkatkan Kompetensi Profesi Penyelenggara Pemilu

Opini

Meningkatkan Kompetensi Profesi Penyelenggara Pemilu

Oleh: Dwi Haryanto

Penggiat kajian Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH)

 

Amanat amandemen Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945 mengisyaratkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang. Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Pemilihan Umum di indonesia menganut azas “LUBER” yang merupakan singkatan dari Langsung, Umum, bebas, dan, Rahasia. Langsung, berarti pemilih diharuskan menggunakan/memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan Umum, berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas, berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun Rahasia, berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Di era Reformasi berkembang pula azas,“JURDIL”, yang merupakan singkatan dari Jujur dan Adil. Azas Jujur mengandung arti bahwa Pemilihan Umum Harus dilaksanakan sesuai dengan aturan dan regulasi yang ada untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya. Azas Adil adalah perlakuan yang sama terhadap Peserta Pemilu dan Pemilih, tanpa ada diskriminasi terhadap peserta dan pemilih tertentu. 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Tahun 2019 Pada Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019.

Dalam hal ini penulis ingin mengulas terkait dengan Bawaslu yang dimana sebagai lembaga yang mempunyai mandat untuk mengawasi proses Pemilu membutuhkan dukungan banyak pihak dalam aktifitas pengawasan. Salah satunya adalah dengan mengajak segenap kelompok masyarakat untuk terlibat dalam partisipasi pengawasan setiap tahapannya.

Pemilu bukanlah sekadar ajang seremonial politik belaka yang menafikan partisipasi politik masyarakat. Masyarakat menjadi subyek dalam proses Pemilu. Pengawasan partisipatif yang dilakukan untuk memujudkan warga negara yang aktif dalam mengikuti perkembangan pembangunan demokrasi. Pengawasan juga menjadi sarana pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat pemilih.

KPU/ Bawaslu Provinsi dan KPU/ Bawaslu  Kabupaten/ Kota merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemilu. Berkualitas tidaknya pemilu/ pilkada sangat tergantung pada profesionalitas, kemandirian (independensi) dan integritas penyelenggara pemilu. Menurut Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Press, 2012, h. 109 Sifat mandiri (independen dan imparsial) berarti bebas dari segala bentuk pengaruh atau intervensi pihak lain, yang dapat mengurangi kemampuan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil.

Di samping itu, untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil penyelenggara pemilu harus berintegritas yang ditunjukkan dari kualitas diri seseorang yang bersifat positif berkenaan dengan kesatuan pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilandasi oleh nilai kejujuran sehingga dapat dipercaya dan tetap memegang komitmen dalam menyelenggarakan pemilu yang jurdil. Kemandirian dan integritas penyelenggara pemilu tersebut harus terjamin sejak proses rekrutmen dan selama pelaksanaan tugas yang harus terjaga sehingga penyelenggara pemilu bebas dari segala kemungkingan pengaruh eksternal atau pun preferensi politik yang dapat menyandera kemandiriannya.

Mengutip M.Imam Nasef, “Studi Kritis Mengenai Kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Mengawal Electoral Integrity di Indonesia”, menyebutkan bahwa Kemandirian dan integritas penyelenggara merupakan kunci penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Ketidakmandirian penyelenggara pemilu akan berdampak langsung pada runtuhnya kualitas penyelenggaraan pemilu. Untuk itu, pembentuk UU telah mengantisipasinya dengan pembentukan DKPP, meskipun keberadaan DKPP telah menjadi ‘kabar pertakut’ untuk mengawal kemandirian dan integritas penyelenggara pemilu, namun fakta menunjukkan sejak 2012-2017 terdapat 2.578 perkara pengaduan dugaan pelanggaran kode etik kepada DKPP RI yang melibatkan 12.198 orang penyelenggara pemilu yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilukada 2012-2014, Pemilu Legislatif 2014, Pilpres 2014, Pemilukada serentak 2015, dan 2017 yang mempermasalahkan independensi dan integritas penyelenggara pemilu. Dari Jumlah 2.578 pengaduan tersebut, sebanyak 871 perkara yang naik sidang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 840 perkara yang diputus yang melibatkan 3.379 penyelenggara Pemilu.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 412 penyelenggara pemilu diberhentikan tetap, 11 penyelenggara pemilu diberhentikan dari jabatan sebagai ketua, dan 36 orang dikenakan sanksi pemberhentian sementara sebagai penyelenggara pemilu sebanyak 36 orang. Di samping itu, 861 orang dikenakan sanksi berupa peringatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat persoalan independensi dan integritas penyelenggara pemilu di semua tingkatan yang bermula dari proses rekrutmen/ seleksinya. Untuk itu dibutuhkan model rekrutmen BAWASLU yang menjamin independensi dan integritas penyelenggara pemilu. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: pertama, apa saja keunggulan dan kelemahan model rekrutmen penyelenggara pemilu yang berlaku selama ini? Kedua, bagaimana model ideal rekrutmen penyelenggara pemilu yang menjamin independensi dan berintegritas penyelenggara pemilu?.

Pemilu yang ideal harus diselenggarakan oleh para penyelenggara profesional dan memiliki integritas yang tinggi. Penyelenggara pemilu bekerja secara taat asas, berpijak di atas aturan yang jelas (transparancy), memastikan (measurable), dan gampang diterapkan (applicable). Kredibilitas mereka ditentukan pula dari keyakinan publik atas apa yang mereka lakukan sejak awal hingga akhir penyelenggaraan dalam rangkaian suatu pemilihan yang ditanganinya. Intinya aspek kepemimpinan, Integritas, Independensi, dan Kompetensi Kepemiluan harus terpenuhi.

Mengacu standar International Institute for Democracy and Electoral Assistence, terdapat landasan filosofi dan normatif yang menjadi prinsip utama electoral management body (penyelenggara pemilu) dalam menyelenggarakan pemilu yaitu:

  1. Independen: menjadi keharusan bagi penyelenggara untuk bersikap dan bertindak independen dalam menyelenggarakan pemilu. Independen juga ditunjukkan dari kemampuan penyelenggara untuk bebas dari kepentingan dan tekanan politik mana pun.
  2. Imparsialitas: penyelenggara pemilu juga harus menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak mengindikasikan keberpihakan kepada peserta pemilu baik partai atau kandidat.
  3. Integritas: penyelenggara pemilu juga dituntut untuk memiliki kepribadian dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya guna mengendalikan semua proses pemilu sesuai aturan dan norma-norma hukum yang berlaku.
  4. Transparansi: transparansi merupakan kunci bagi tata kelola penyelenggaraanpemilu yang demokratik. Melalui jaminan transparansi, peserta pemilu dan publik mampu mengakses informasi mengenai penyelenggaraan pemilu baikdalam aspek anggaran, kebijakan dan akuntabilitas keseluruhan tahapan penyelenggaraan pemilu.
  5. Efisiensi: asas/prinsip ini memberi penekanan pada kehati-hatian penyelenggara dalam membuat perencanaan pemilu yang tepat sasaran, anggaran dibuat sesuai kebutuhan yang tepat, bijaksana, dan mengutamakan aspek kualitasdalam menjalankan tugas EMB.
  6. Profesionalisme: Bawaslu haruslah figur-figur yang ahli dan menguasai masalah kepemiluan, direkrut dari calon-calon yang memiliki kualifikasi tinggi sebagai komisioner dan mengutamakan kepentingan bersama untuk mensukseskan pemilu berintegritas.
  7. Mengutamakan pada pelayanan (service-mindedness): penyelenggara pemiludituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang mengutamakan semua pihak (partai, kandidat, dan masyarakat) dan mengedepankan tata kelola kerja yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek hukum (legal framework).

Penulis juga mengutip dari tulisan essay Suranto dan kawan-kawannya dengan judul “Model Rekrutmen Penyelenggara Pemilu yang Independen dan Berintegritas di Daerah Istemea Yogyakarta,” menjelaskan bahwa sistem rekutmen dari awal hingga kini sudah mulai menunjukkan hasil kualitas penyelenggara pemilu yang memiliki jiwa kepemimpinan, berintegritas, independen dan imparsial serta profesional dalam bekerja. Dari model diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa model yang digunakan untuk melakukan seleksi penyelenggara pemilu di DIY saat ini adalah perpaduan dari model terbuka dan dan pelibatan aktor non negara/ civil society.

Sistem rekrutmen ini sudah cukup ideal, beberapa keunggulan dari sistem ini adalah adanya keterlibatan publik dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu, sehingga hasil rekrutmen dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas terukur). Keterlibatan publik dapat dilakukan secara personal maupun kelembagaan (organisasi masyarakat) baik dalam bentuk pengusulan kader-kader terbaik dari organisasi masyarakat yang memiliki kompetensi kepemiluan, dan tentunya dapat memberikan masukan mengenai rekam jejak calon penyelenggara dalam perspektif keilmuan, pekerjaan, hubungan sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Selain itu, sistem yang saat ini dilakukan adalah melalui pembentukan Tim Seleksi yang terdiri dari unsur akademisi, profesional, dan tokoh masyarakat yang memiliki integritas.

Timsel memiliki kewenangan penuh dalam proses seleksi sampai pada penyampaian hasil calon penyelenggara pemilu yang berjumlah 2 kali dari calon yang dibutuhkan. Timsel merupakan kunci utama untuk mewujudkanpemilu yang berintegritas dengan menghadirkan calon penyelenggara pemilu yang profesional, independen dan berintegritas. Namun, dalam praktek terdapat beberapa kelemahan dari sistem tersebut, kedepan perlu adanya perbaikan model rekrutmen penyelenggara pemilu yaitu:

  1. Kapasitas dan Integritas (SDM) Kandidat

Sistem rekrutmen yang terbuka membawa implikasi keterlibatan publik yang lebih besar, sosialisasi adanya rekrutmen akan lebih mudah dan luas jangkauannya, banyak pihak yang mengetahui adanya rekrutmen tersebut. Namun persoalan mendasar adalah tidak banyak yang berminat mencalonkan menjadi penyelenggara pemilu, selain itu persoalan utama adalah kualifikasi calon yang kurang kompeten dan banyak calon yang memang memiliki kepentingan untuk “hanya mencari kerja”. Model Rekrutmen Penyelenggara Pemilu yang Independen dan Berintegritas tentunya juga harus didorong dengan profesioanlisme yang setidaknya memiliki indikator bahwa calon-calon penyelenggara pemilu bukan hanya berintegritas, mandiri, melainkan juga harus profesional.

Persyaratan calon yang harus memiliki keahlian kepemiluan belum dilakukan secara konsisten. Jumlah calon penyelenggara yang memiliki kompetensi dalam tata kelola pemilu di daerah kabupaten/kota memang tidak banyak dan tidak merata. Banyak calon tidak memiliki kualifikasi SDM yang memadai sebagai calon komisoner KPU dan Bawaslu baik pada tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota, dampaknya dari kejadian tersebut masih bisa terjadinya penyelenggara pemilu yang menyalahi wewenang dan berakhir dengan tindak pidana pemilu.

Menurut data Essay yang ditulis Suranto dan kawan-kawan hasil dari FGD yang menghadirkan tim seleksi KPU Provinsi, Timsel KPU Kabupaten/ Kota, Timsel Bawaslu Provinsi dan Timsel Bawaslu Kabupaten/ Kota, dan akademisi kepemiluan ditemukan fakta bahwa tidak semua calon anggota KPU Kabupaten/Kota memiliki latar belakang pengalaman dan keahlian tentang kepemiluan, dan banyak calon yang memang mendaftar untuk kepentingan mencari kerja. Padahal, persoalan kepemimpinan, independensi, integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu berawal dari proses rekrutmen, sementara penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang profesional, independen dan berintegritas tidak hanya ditentukan oleh proses seleksi yang berkualitas, tetapi faktor dominan terletak pada kualitas kandidat yang mendaftar sebagai penyelenggara pemilu.

Semakin beragamnya latar belakang dari calon anggota KPU dan Bawaslu yang mendaftar menjadi sebuah tantangan kelembagaan untuk membangun sistem rekrutmen yang mampu menghasilkan calon komisioner yang kompeten.  Oleh karena itu, perlu ada pembenahan mengenai parameter yang digunakan untuk menyeleksi calon supaya menghasilkan anggota KPU dan Bawaslu yang memiliki kompetensi tinggi sebagai penyelenggara pemilu. Spesifikasi calon yang harus memiliki kompetensi keilmuan dengan kepemiluan ini dibutuhkan untuk menghasilkan calon komisioner yang punya keahlian memadai dalam masalah kepemiluan.

  1. Uji Kompetensi Sebagai Indikator Profesionalisme

Berdasarkan persyaratan timsel yang mengacu pada UU No 07 Tahun 2017 sudah sangat cukup ideal, dimuali dari tahapan penyebaran informasi yang terbuka kemudian tes turtulis CAT, lalu Tes Psychologi dan Tes Kesehatan, dan lain sebagainya. Namun berkaitan dengan indakator profesionalisme pada profesi kerja kepenyelenggaraan pemilu masih belum ada indikatornya. Contohnya saja bisa kita ambil dari profesi guru, profesi guru ada indikator yaitu dengan mengikuti uji kompetensi keguruan, kemudian wartawan juga ada uji kompetensi wartawan yang diselenggarakan oleh dewan pers langsung. Dari uji kompetensi ini setidaknya bisa dijadikan salah satu indikator keprofesionalan kerja bagi  penyelenggara pemilu yang lebih baik, lebih berintegritas, independen, mandiri, dan lebih profesional.

Berkaitan dengan waktu penyelenggaraan pemilu tentunya akan sibuk disaat momentum pemilihan saja, uji kompetensi penyelenggara pemilu bisa dilakukan di momen-momen menjelang perekrutan kembali setahun atau sebelum dimulainya seleksi dimulai. Adapun mekanisme dan teknisnya juga bisa dikerjasamakan dengan lembaga sertifikasi profesi atau lembaga-lembaga yang memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Tentunya dalam meningkatkan kesadaran di masyarakat tekait dengan penyelenggaraan pemilu sangatlah penting, kemudian perbaikan-perbaikan sistem penyelesian juga penting dilakukan agar kelemahan-keleman yang selama ini terjadi dalam mencari kandidat yang berintegritas, berkualitas, dan memiliki pemahaman kepemiluan yang baik harus sama-sama kita kawal demi terwujudnya apa yang dicita-citakan dalam pancasila dan UUD 1945.

To Top