Connect with us

Belum Ada Izin, Resto Saung Babeh Di Setu Disegel Satpol PP

Info Tangsel

Belum Ada Izin, Resto Saung Babeh Di Setu Disegel Satpol PP

Polemik atas status kepemilikan tanah yang bergulir dalam persepsi publik makin tak menemukan titik terang. Impian yang sudah dirancang kian matang oleh Abdullah Serin Mantan Anggota DPRD Kota Tangsel pada akhirnya harus diurungkan, lantaran resto Saung Babeh disegel Satpol PP dan tidak dapat mengangkat kuliner khas Tangsel.

Hari ini, satuan polisi pamong praja (Satpol PP) Tangsel dikerahkan ke lokasi guna menutup atau menertibkan resto saung babeh yang disinyalir tidak berijin. Sidak tersebut langsung dipimpin oleh Sapta Mulyana, Kepala bidang penegakan perundang-undangan Kota Tangerang Selatan. Kedatangan ia dan pasukannya dalam rangka menegakan perda terkait izin pengurugan yang di lakukan resto saung babeh.

“Kondisi saung babeh kami segel karena belum mengantongi izin. Baik dari sisi pembangunan infrastruktur ataupun dari pembangunan resto saung babeh itu sendiri,” ujar Sapta, Jumat (22/01/21).

Disisi yang berbeda hal tersebut sontak membuat Abdullah Serin yang juga politisi asal partai Nasdem yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Tangsel selama dua (2) periode tersebut naik pitam. Ia memaparkan, dirinya tak akan tinggal diam atas penyegelan tersebut di tanah pribadinya.

“Saya akan turun demo, mobil fortuner saya akan saya parkir di tengah jalan sebelah alfamidi kelurahan Setu sebagai bentuk kekecewaan saya terhadap apa yang mereka lakukan. Saya ini tidak menjual narkoba, saya ini menjual makanan,” ungkapnya.

Terlepas dari permasalahan hak atas Situ yang di klaim sebagai milik pribadi, mantan ketua Dewan Kesenian Banten, Chavchay Syaifullah berpendapat. Situ yang terletak di kampung Situ mestinya dapat memberikan dampak positif kepada warga sekitar.

“Dari aspek lingkungan, Situ itu penting bagi keberlangsungan hidup warga di sekitarnya. Baik untuk menjaga agar tidak banjir ataupun menjaga ketersediaan stok air saat kemarau. Situ ini sejak dahulu kala sudah menjadi locus peradaban masyarakat Tangsel,” paparnya.

Masih menurut Chavchay, mempertahankan kelestarian Situ dengan menjaga mitologi-mitologi tempo dulu merupakan bentuk penguatan spiritual kedekatan warga dengan lingkungan sekitar.

“Di satu sisi, Situ ini masih jadikan sebagai tempat kegiatan pendekatan spiritual dengan alam, kemudian dipadu padankan dengan mitologi secara turun temurun, intinya ada sejarah kuat yang tidak bisa di pisahkan,” tambahnya

Ia juga berpendapat, locus kosmologi kehidupan masyarakat Tangsel khususnya hampir sama dengan kehidupan di wilayah pesisir yang hidupnya bergantung dengan laut, bersahabat dengan laut sehingga terciptanya kebudayaan laut.

“Di Tangsel tidak ada gunung dan tidak ada laut, Situ ini menjadi kebudayaannya. Saya harap ini bisa di pertahankan terus sampai kapanpun. Kedekatan masyarakat terhadap Situ di percaya dapat meningkatkan suasana batin yang reflektif, afirmatif, dan permisif terhadap kemajemukan,” ungkap Chavchay.

Ia juga mengingatkan kepada pemerintah daerah, fungsi Situ itu bukan hanya sebagai irigasi. Ada pelajaran penting yang patut di resapi.

“Sebagai contoh, kita liat Situ Gintung. Yang di bangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengairan ke Jakarta. Namun ketika salah kelola akan menimbulkan musibah,” ucapnya

Menyinggung kepemilikan Situ yang terletak di Kampung Setu Rw : 04 Rt : 014 Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan. Menurut Chavchay itu merupakan lahan Situ.

“Secara faktual ini adalah Situ, kita melihat dari aspek kedalaman, luas, dan sudah bertahun-tahun berfungsi sebagai Situ. Namun secara administratif, pihak pemerintah kota harus mediasi secara aktif. Karena pernah ada yang mengklaim lahan ini adalah milik Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional (National Nuclear Energy Agency),” jelasnya.

Adapun Chavchay berharap, belum adanya izin yang mengklaim lahan tersebut adalah lahan pribadinya jangan dulu mengerjakan pekerjaan yang beresiko kepada warga sekitar.

“Harusnya, sebelum terbitnya izin pengelola ataupun pemilik tidak melakukan kegiatan apapun. Terlepas dari polemik kepemilikan, saya berharap pemerintah tidak akan mengeluarkan izin kepada yang bersangkutan, namun jika tidak merusak fungsi resapan air silahkan saja di bangun. Yang penting tidak mengganggu airnya,” tandasnya.

Dari pantauan media di lapangan, belum jelasnya pembangunan tersebut karena pengelola belum berkoordinasi dengan pemerintah daerah sejak awal pembukaan. Pembangunan jalan sebagai akses masuk yang rencananya memiliki lebar 5 meter dan panjang 1 kilometer terpaksa urung di lakukan.

Meski demikian, penyegelan tersebut juga mengundang tanda tanya besar bagi publik. Sampai kapan? Apakah setelah pihak pengelola mengurus ijin apakah kemudian pembangunan tersebut di lanjutkan kembali? (Adt).

To Top