Opini
Deliar Noer: Awalku Masuk ke HMI
Keterlibatanku dalam Himpunan Mahasiswa Islam sebenarnya merupakan perkembangan biasa saja, apalagi pada permulaannya. Bukankah aku semenjak kecil sudah diperkenalkan dengan segala yang berbau Islam? Ketika di MULO aku mengajak kawan-kawan untuk memberikan sumbangan guna membantu para mukimin di Mekkah. Ketika itu aku juga menjadi anggota aktif Persatuan Pemuda Islam.
Di samping memperbanyak bacaan, aku sengaja ingin aktif bersama orang-orang seiman; tempatnya ketika itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam.
Suatu ketika rapat diadakan di sekolah Muhammadiyah di bilangan Kramat bulan Maret 1950. Tentu Pak Broto dari Muhammadiyah dan aku pergi menghadirinya. Aku berkenalan dengan kawan-kawan yang pada umumnya lebih tua dariku. Ada Pak Broto yang kusebut tadi, adapula Syarif Usman yang beberapa tulisannya telah pernah aku baca dalam Pedoman Masyarakat sebelum Perang Dunia II.
Disepakati untuk mendirikan cabang HMI Jakarta, dengan ketua AS Broto. Aku diusulkan Kamil untuk menjadi sekretaris, disertai pengantarnya tentang pengalamanku di berbagai organisasi pelajar, baik di Medan maupun di Jakarta. Kamil memang termasuk kawan yang sering mempromosikan aku. Dan aneh juga, kupikir, yang hadir menyetujui; aku juga tak menolak. Bukankah sudah kukatakan, aku ingin dekat dengan Tuhan, dengan kawan-kawan seiman, dengan maksud agar imanku kokoh, dan tidak lagi bertanya-tanya seperti yang kurasakan selama itu.
Tetapi pada tahun berikutnya, ketika jumlah anggota HMI yang terdaftar masih saja seperti tahun sebelumnya (15 orang), aku terpilih sebagai ketua cabang. Broto ikhlas sekali tampaknya dalam menyerahkan pimpinan cabang ini kepadaku sehingga ia pun membantu benar dalam memajukan HMI di bawah pimpinanku. Hubungan kami berkawan memang termasuk erat. Jauh sesudahnya, ketika aku menjadi Rektor IKIP Jakarta, hubunganku dengannya berlanjut mesra.
*Kongres Darurat di Yogyakarta*
Dalam tahun itu juga bulan Desember, kami pergi ke Yogyakarta mewakili HMI Cabang Jakarta menghadiri kongres darurat HMI. Kami terdiri dari tiga orang: Broto, Usuluddin Hutagalung dan aku. Ketika itu HMI sudah membuka cabang di beberapa kota lain, termasuk Yogyakarta tempat berdinya HMI dan sampai permulaan tahun 1950 masih merupakan tempat kedudukan pimpinan pusat organisasi ini. Kemudian HMI juga ada di Bandung, Surabaya dan tentu saja Jakarta.
Perkembangan ini menghendaki konsolidasi organisasi, di samping perlunya kejelasan tentang personalia dan struktur pimpinan pusat sendiri.
Dalam masa revolusi mulanya Achmad Tirtosudiro yang jadi Ketua Umum PB HMI (belakangan dia pensiun dengan pangkat Jenderal bintang tiga), tetapi dia segera masuk Resimen Mahasiswa (malah kudengar kemudian dia jadi komandannya di tingkat nasional) dan akhirnya, menurut kabar ketika itu pula, dia tetap berkarir di lingkungan Angkatan Darat. Wakilnya HMS Mintaredja, tetapi setelah aksi militer Belanda kedua, wakilnya ini pindah ke Bandung.
Hutagalung sendiri pada waktu revolusi sudah menjadi anggota pengurus pusat, tetapi dia juga pindah ke Jakarta setelah aksi militer Belanda itu. Ada Asmin Nasution dan Dahlan Ranuwihardjo yang di Jakarta, tetapi tetap belum jelas benar bagaimana sebenarnya pimpinan pusat itu. Keduanya memang duduk di dalam kepengurusan pusat, namun susunannya dibentuk oleh orang-orang pusat itu sendiri tanpa persetujuan cabang-cabang yang sudah ada beberapa buah.
Apakah, umpamanya Lafran Pane, yang dalam masa revolusi juga turut dalam pimpinan pusat, mengetahui segala macam perkembangan ini? Kami di Jakarta tahu bahwa perkembangan itu diikuti juga oleh Lafran yang juga pendiri HMI itu, karena ada juga di Jakarta berbicara sesama anggota pimpinan pusat itu. Kongres darurat diperlukan tampaknya, dan tempatnya lebih tepat di Yogyakarta sebagai tempat lahir dan kantor pusat organisasi itu.
Sungguh pun demikian aku sendiri tidak merasa perlu status kongres itu ditekankan; konperensi atu pertemuan antara cabang dengan pimpinan pusat sudah memadai. Tetapi Dahlan sendiri mempunyai pendapat lain, dan ini dikemukakannya dalam pertemuan di Yogya itu. Ia merasa perlu adanya kongres, walau darurat, agar keputusan lebih mantap. Aku tidak bersikukuh dengan pendirianku, karena yang perlu ialah kesepakatan, bukan status suatu pertemuan. Agaknya Dahlan sendiri merasa perlu status kongres ini, agar kedudukannya di pimpinan pusat dikukuhkan oleh kongres tersebut. Dan inilah yang terjadi.
Ketika itu Dahlan Ranuwiharjo memang sudah menjadi ketua umum pilihan sesama anggota pimpinan pusat, dan dialah yang memimpin kongres. Lagi pun Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu federasi organisasi mahasiswa ekstra seluruh Indonesia, akan mengadakan kongresnya di Yogyakarta yang tentu juga akan diikutsertai oleh HMI. Ini berarti HMI akan mengirimkan delegasinya, dan sebaiknya delegasi ini terdiri dari orang pusat dan orang cabang. Ketika itu istilah wilayah atau Badko belum dikenal dalam HMI.
Maka aku pun berangkatlah ke Yogyakarta dengan kereta api sebagai utusan HMI Jakarta, bersama Broto dan Hutagalung. Seperti kukatakan, kawan yang akhir ini sebenarnya sudah duduk juga di pimpinan pusat, dan oleh sebab itu ia lebih banyak sebagai orang pusat. Sebelum berangkat, kami di cabang mengadakan lebih dahulu rapat khusus untuk membekali delegasi ke Yogyakarta. Namun bekal ini tak banyak, oleh karena pada umumnya kami di cabang belum banyak mengenal HMI dan belum juga banyak mengenal organisasi mahasiswa.
Cabang Jakarta ketika itu pun lebih banyak terdiri dari rekan-rekan mahasiswa di Universitas Nasional dan Universitas Islam Djakarta (namanya ketika itu masih Perguruan Tinggi Islam Djakarta); seorang dua saja dari Universitas Indonesia. Pengalaman berkongres kami pun belum ada, sungguh pun ada juga keyakinan kami bahwa kongres hanyalah merupakan rapat anggota suatu cabang.
Di Yogyakarta aku menginap di rumah yang papan namanya masih bertanda Mr. Mohammad Roem, karena dahulunya memang Pak Roem tinggal di rumah itu. Letaknya di Gondokusuman. Rumah ini juga tempat Dahlan Ranuwihardho tinggal (atau menginap) serta juga seorang kemenakan lain Pak Roem, kakak dari Dahlan, yaitu Arismunandar. Aris ini pada masa Jepang sekelas denganku di SMPT Jakarta. Ia masih mengingatku, tetapi mungkin karena bukan mahasiswa melainkan seorang yang sudah bekerja penuh (ia mempunyai bengkel sepeda) ia tak banyak bicara denganku. Namun ia gembira dengan kedatanganku.
Broto dan Hutagalung menginap di rumah Anton Timur Djaelani, di daerah Kota Baru juga. Timur atau Anton, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII), walau pun ketika itu ia sudah menjadi mahasiswa. Aku sering ke sana menjumpai Broto dan Hutagalung, sambil berkenalan juga untuk pertama kali dengan tuan rumah.
Seperti kukatakan, kongres HMI kami disebut kongres darurat. Wakil Bandung, Sdr. Achmad Sadali yang kemudian terkenal sebagai tokoh seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan wakil Yogyakarta , dipimpin oleh Sdr. Daldiri yang kemudian menjadi dokter dan profesor tenar di Surabaya, bersama seorang dua temannya hadir. Tak lama kemudian Daldiri mendirikan cabang di Surabaya. Ia sendiri mengatasnamakan kawan-kawan di Surabaya dalam menghadiri kongres HMI itu.
Kongres darurat ini antara lain memilih Ketua Umum Pengurus Besar. Seperti kukatakan, Dahlan kelihatannya ingin dikukuhkan dalam kongres, walau pun yang sifatnya darurat. Memang kedudukan Pengurus Besar, apalagi Ketua Umumnya, akan lebih kuat bila ia dipilih oleh suatu kongres, walau pun kongres itu sifatnya darurat dan dihadiri oleh hanya beberapa orang saja, tanpa tata tertib yang jelas pula, kecuali tata tertib menurut rapat biasa seperti yang kami lakukan di Yogya itu.
Lafran Pane hadir juga sebagai orang dari Yogyakarta, walau kehadirannya tidak terus-menerus. Aku segera menangkap kesan bahwa ia kurang serasi dalam berbagai hal dengan Dahlan. Yang akhir ini, umpamanya, menyarankankan agar kongres mengambil keputusan untuk mendesak pemerintah mengadakan kursus atau kuliah bahasa Belanda, terutama bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang memang memerlukan pengetahuan bahasa Belanda ini untuk studi sebagai ahli hukum.
Hukum Indonesia ketika itu, agaknya juga sampai kini, masih sangat dipengaruhi oleh pengertian-pengertian hukum asal Belanda, malah kitab undang-undangnya masih berbahasa Belanda. Lafran menolaknya, dan dengan keras pula. Dua hal ia kemukakan sebagai alasan : perlunya kita berusaha lebih mandiri, dan kedua, karena bahasa Belanda termasuk bahasa yang sulit, dan oleh sebab itu akan menyulitkan para mahasiswa saja. Ia lebih suka agar segala bahasa Belanda di dalam hukum diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia dan ini bisa dipercepat, katanya.
Kalau sekiranya masalah itu dibatasi pada perbedaan pendapat tentang sesuatu hal, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi kesanku tadi, kekurangserasian antara kedua tokoh mahasiswa Islam ini – Lafran versus Dahlan – mengherankan aku juga. Apalagi seharusnya memberi kesan yang lebih positif terutama bagi kami yang baru mengenal HMI itu.
Kongres HMI itu juga memutuskan untuk mempergiat penyebaran organisasi ini ke kota-kota universitas yang belum mengenalnya. Malah ada semacam anjuran agar HMI mendapat pendukung lebih besar di universitas umum. Masalahnya, perguruan tinggi Islam sudah jelas Islamnya, dan oleh sebab itu para mahasiswanya sudah boleh dikatakan sejalan saja dengan HMI dalam aspirasi dan penjabarannya.
Ada pula diputuskan untuk membuat logo HMI yang akan menghias bendera, dan dijadikan insinye serta dalam rangka penggunaan kalung kepengurusan. Soal logo ini diserahkan ke cabang Bandung yang memang mempunyai orang-orang dari bidang senirupa. Achmad Sadali tampak sekali antusias dengan hal ini. Cabang Jakarta sendiri mendapat tugas dari kongres untuk mengkaji ulang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sehingga pada kongres berikut akan dapat diadakan perubahan-perubahan. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini memang telah perlu dirombak; dia berasal dari tahun 1947.
Kongres juga membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan kongres PPMI yang akan dihadapi oleh HMI Yogyakarta itu juga. Bukankah sudah kukatakan bahwa kami dari HMI dapat menghadapi kongres PPPMI? Dahlan memang sudah aktif di PPMI yang sampai kongres di Yogya itu diketuai oleh Subroto dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menarik juga mengingat bahwa Subroto ini kemudian menjadi menteri dalam kabinet Soeharto, dan kemudian menjadi sekretaris jenderal organisasi minyak sedunia, OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries).
*Kongres PPMI*
Di kongres PPMI aku mulai mengenal gerakan mahasiswa pada tingkat nasional. Aku termasuk dalam delegasi HMI di kongres itu, bersama Dahlan (yang sebenarnya memang sudah di PPMI), Broto dan Hutagalung. Ada juga kawan dari HMI Yogyakarta yang hadir, seperti juga Lafran yang sesekali muncul dalam forum PPMI. Tetapi masalah-masalah di PPMI tidak merupakan isu yang terlalu diperdebatkan, kecuali tentang International Union of Students (Gerakan Mahasiswa Internasional) yang merupakan gerakan kiri.
Sampai masa-masa akhir aku aktif di HMI (1955 dan sebagian 1956 walau pun secara resmi tidak aktif duduk lagi sebagai anggota pengurus) hubungan PPMI dengan IUS ini tetap saja menjadi bahan perdebatan. Sesekali aku, Hutagalung dan Broto berbicara bergantian. Kesanku ialah bahwa utusan-utusan dari organisasi mahasiswa lain, baik dari Yogya mau pun dari Jakarta, tetapi juga dari Surabaya, Bandung dan Bogor, melihat HMI sebagai organisasi yang diperhitungkan.
Kalau ada orang HMI yang bicara di depan kongres itu, delegasi lain pada umumnya diam dan memperhatikan. Peran HMI seperti itu tentu merupakan kelanjutan dari perannya semasa revolusi, karena PPMI juga dibentuk di masa revolusi itu. Peran ini tampaknya lebih meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Aku merasa bangga juga dengan peran HMI seperti ini. Apalagi dalam kongres di Yogyakarta itu Dahlan Ranuwihardjo akhirnya terpilih pula sebagai Ketua Umum PPMI. Jadi dia pegang dua jabatan prestisius : Ketua Umum PB HMI dan Ketua Umum PPMI.
*Menjadi Ketua Umum PB HMI*
Pada permulaan September 1953 dalam Kongres HMI se-Indonesia di Jakarta aku terpilih sebagai Ketua Umum pengurus besar. Ketika itu aku mengetuai delegasi HMI Jakarta sungguhpun aku bukan lagi Ketua Cabang Jakarta. Oesodo yang saat itu menjadi Ketua Cabang, dan yang pada masa aku mengetuai cabang menjadi wakil ketua, saat itu dia menjadi wakil ketua delegasi. Ia memang sangat mendukung aku dalam posisi yang sangat memungkinkan aku terpromosikan. Aku mengenang ia sebagai orang baik dan lurus, bukan karena ia mempercayaiku melainkan karena memang demikianlah sifat orangnya.
Dalam kongres ada beberapa cabang baru yang muncul yaitu Medan yang menjadi cabang HMI pertama di wilayah Sumatera (yang pendirian cabangnya turut kupelopori ketika aku datang ke sana tahun 1952) dan Makassar di Sulawesi. Kawan-kawan yang tinggal di asrama Pegangsaan Timur dan jalan Bunga sibuk membantu, bukan saja dalam rangka sidang-sidang, resepsi dan sebagainya, melainkan juga karena kongres disibukkan pula dengan acara pertandingan olah raga dan deklamasi sajak.
Sidang kami adakan di asrama Pegangsaan Timur, olahraga di halamannya, sedangkan perlombaan sajak di Lembaga Mikrobiologi, juga di Pegangsaan Timur, dan akhirnya resepsi di aula UI di Salemba. Para peserta menginap di asrama Jalan Bunga, asrama Pegangsaan Timur, dan satu orang puteri dari Bandung dan dua dari Yogyakarta di rumah Pak Samsoeridjal, walikota Jakarta.
Sidang-sidang kami kadang-kadang hangat juga. Kupikir, Cabang Jakarta (itu berarti aku karena aku yang menyuarakan pendapat cabang tersebut) terlalu keras menghadapi kerja dan kebijaksanaan Pengurus Besar. Ada berbagai penyesalan yang kami sampaikan dalam hubungan dengan Pengurus Besar: rangkapan ketua umum pengurus besar dengan kedudukan di organisasi lain (seperti Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia di mana Ketua Umum PB HMI juga menjadi Ketua Umum PPMI); dalam rangka ini Dahlan Ranuwihardjo pernah bepergian lama ke luar negeri, dengan akibat berkurangnya perhatian pada kegiatan pokok di HMI.
Kecenderungan berpolitik pada sebagian kalangan PB HMI (Dahlan memang secara pribadi besar perhatiannya terhadap bidang politik) sehingga tertinggal dalam usaha peningkatan kemahasiswaan. Termasuk di dalamnya permintaan ketua umum PB HMI kepada Bung Karno untuk menjelaskan masalah “Negara Nasional dan Negara Islam”.
Seperti kukatakan di atas, kesempatan ini dipergunakan presiden — yang mempunyai kedudukan konstitusional — untuk menyampaikannya ke tengah masyarakat yang bisa mempengaruhi massa. Ini akan merugikan kalangan Islam karena Bung Karno sudah diketahui lama menolak negara Islam.
Ketika itu isu negara Islam (atau negara berdasar Islam) sedang dipopulerkan oleh partai-partai Islam (praktis pada permulaan 1950-an sampai menjelang pemilihan umum 1955 udara politik Indonesia dipenuhi oleh kampanye tak resmi tentang sifat negara yang hendak dibangun di Indonesia ini). Namun, perlu pula dicatat segera bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak mempengaruhi kongres dan hubungan antara cabang Jakarta dengan PB HMI, serta hubungan pribadi pihak-pihak bersangkutan. Memang benar, suara-suara yang kadang-kadang keras diperdengarkan itu menyeramkan juga, namun selesai sidang, ataupun bila menghadapi acara lain, suasana pun sudah berubah pula.
Aku sendiri mencatat dalam hubungan ini betapa perdebatan di dalam lingkungan partai Islam, terutama Masjumi baik yang kudengar dari beberapa tokoh, maupun yang kubaca dari berbagai notulen rapat yang kemudian kuperoleh kemudian dari beberapa tokoh itu, memang bisa sangat menghangat.
Tetapi seusai rapat atau sidang, hubungan antara mereka yang berdebat itu pulih seperti biasa kembali. Tidak pula ada yang menyampaikan isi perdebatan itu kepada orang lain, kecuali yang dipercaya; dan tentu tidak pada kalangan pemerintahan. Masalah perdebatan seperti itu adalah masalah dalam partai atau organisasi.
Kongres menyetujui logo yang direncanakan oleh Cabang Bandung sesuai keputusan kongres darurat tahun 1951. Masalah logo ini berkaitan dengan atribut HMI dalam bentuk lencana, bendera, stempel dan kartu anggota. Ada kesalahpahaman antara Cabang Jakarta dan Cabang Bandung dalam rangka keputusan kongres darurat tentang logo ini.
Kami melihat keputusan kongres darurat meminta cabang Bandung merencanakan logo tadi bukan dalam pengertian secara mutlak, yaitu bahwa rencana yang dibuat oleh Cabang Bandung harus diterima secara otomatis. Oleh sebab itu menjelang kongres di Jakarta, kami di Jakarta pun meminta Budiman, pelukis yang seorang lagi yang tidak turut pameran setahun sebelumnya di Gedung Proklamasi, untuk membuat rencana logo itu. Hasilnya kami kemukakan ke sidang kongres.
Hal ini ditanggapi oleh Cabang Bandung, terutama Achmad Sadali yang ketua cabang, dengan emosi tinggi, karena merasa bahwa yang hanya berhak merencanakan logo itu adalah Cabang Bandung, sesuai kongres darurat 1951. Achmad Sadali sampai mengancam akan keluar dari HMI bila rencana logo Cabang Jakarta ikut dipertimbangakan oleh kongres, dan rencana dari Bandung tidak diterima.
Kurasa reaksinya ini terlalu berlebihan. Kongres seperti di Jakarta, menurut aku, bisa saja memilih rencana yang ada walau yang dari Bandung dipertimbangkan secara serius. Lagipun kalau hanya rencana Bandung yang dibicarakan, kemudian kongres menolaknya, bukankah bisa, malah perlu, dicari rencana logo yang lain? Tetapi pemikiranku ini tidak kulanjutkan, dan setelah ancaman dari Cabang Bandung itu dilontarkan, kami dari Jakarta pun diam-diam saja. Kongres menerima rencana logo Cabang Bandung tersebut.
Kongres tentu mendengar laporan dari pengurus besar, dan dari cabang-cabang. Laporan pengurus besar yang hangat dibicarakan adalah sehubungan dengan pidato Bung Karno tentang “Negara Nasional dan Negara Islam” seperti yang telah kuceritakan di atas. Beberapa cabang lain, di samping Jakarta, Medan, Makassar, juga kurang menyetujui inisiatif Ketua Umum PB yang mengundang Bung Karno dalam rangka menerangkan masalah negara tersebut.
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI, sesuai tugas yang diberikan kongres darurat di Yogyakarta (1951), dikemukakan oleh Cabang Jakarta. Berbulan-bulan lamanya suatu komisi khusus yang dibentuk cabang Jakarta mempersiapkan hal ini yang dipimpin oleh Suhariman yang dibantu dengan tekun oleh Ahmad Bustami. Keduanya memang dikenal di kalangan HMI Jakarta sebagai tenaga-tenaga yang serius dan tekun. Aku pun bergembira bahwa jerih payah seperti ini membuahkan hasil yang baik dalam kongres. Memang AD/ART yang berasal dari tahun 1947 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Suatu bagian baru, Bahagian Keputerian – cikal bakal Korps HMI-wati – diputuskan oleh kongres untuk dibentuk, baik pada tingkat pusat maupun tingkat cabang. Keputusan ini berdasar usul Cabang Yogyakarta. Umumnya kami di Jakarta tidak merasa perlu mengadakan bagian khusus ini, karena selama ini keperluan anggota puteri HMI terpenuhi secara otomatis tanpa adanya bagian khusus. Anggota puteri bisa ikut bersama dalam kegiatan apa pun juga. Ada kecenderungan, demikian pemikiran kami, kalau bagian keputerian dibentuk para anggota puteri akan terpisah kegiatannya dari kegiatan putera. Atau masing-masing akan melaksanakan kegiatan seakan-akan untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Kemungkinan lain ialah bahwa kepengurusan HMI secara umum akan terdiri semata-mata atas anggota putera, dan hanya bagian puteri saja yang akan diisi oleh bagian puteri. Padalah kegiatan kaderisasi, penerangan, penerbitan, studi secara umum, kesenian, pendek kata segala segi hidup ini praktis dilakukan bersama, baik puteri maupun putera.
Namun demikian, delegasi HMI Jakarta tidak mempersoalkan amat pembentukan bagian puteri ini. Memang diakui juga bahwa ada hal-hal khusus yang dihadapi kalangan puteri, yang berbeda dengan kalangan putera. Kami hanya berharap bahwa bagian puteri ini hanya menghadapi hal-hal khusus tersebut, dan dalam hal-hal yang lain yang bersifat umum kegiatan dilakukan bersama.
Tentu hal ini menyangkut pula soal pergaulan, dalam pendidikan, agaknya ini juga menyangkut soal pembauran segregasi. Tetapi kami pikir, kedewasaan lebih memungkinkan pembatasan yang terpelihara. Tampaknya hal seperti ini masih harus kita hadapi zaman sekarang.
Tentu kongres peduli terhadap kedudukan ummat Islam di negeri ini. Pada umumnya mahasiswa yang bergabung dalam HMI mendambakan cita-cita Islam tegak di tengah masyarakat dan bangsa kita. Salah satu sarananya ialah turut serta dalam pemilihan umum, hal yang oleh kongres diputuskan juga mahasiswa Islam hendaklah “turut aktif dalam pemilihan umum”.
Dalam rangka ini HMI menjaga supaya kedudukannya di tengah perpolitikan Islam tidak memihak ke salah satu partai Islam yang ada. Pengalamanku di Cabang Jakarta, dan kemudian sebagai ketua umum PB menunjukkan bahwa keinginan kami adalah supaya partai-partai Islam itu bersatu kembali. Maka kami pun menghubungi semua pimpinan partai bersangkutan secara berkala.
Dalam rangka Islam atau non-Islam, kami memang tidak netral, dalam rangka sikap terhadap partai-partai Islam, kami netral. Oleh sebab itu kongres juga memutuskan agar di antara partai-partai Islam tadi terdapat semacam gentleman’s agreement dalam menghadapi pemilihan umum, maksudnya agar tidak serang-menyerang, dan kalau mungkin saling memperkuat. Seperti ternyata kemudian, harapan seperti ini tinggal harapan belaka.
Kongres juga menyatakan simpati terhadap perjuangan rakyat Maroko, Tunisia dan Aljazair yang ketika itu sedang berusaha mencapai kemerdekaan penuh mereka dari Perancis.
Ketua kongres yang dipilih oleh kongres adalah Mashud yang Ketua HMI cabang Yogyakarta. Mashud ini sebelumnya juga adalah Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan aktif dalam kesebelasan universitas tersebut. Aku senang bergaul dengannya malah sampai aku berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar, dan kemudian kembali ke tanah air, berangkat lagi ke Australia tahun 1975, kami tetap berhubungan.
Setelah dia menikah diperkenalkannya istrinya ketika mereka ke Jakarta kepadaku dengan mendatangiku di rumah “lajang” Pegangsaan Barat. Oleh sebab itu sesudah aku kembali dari Australia 1985, dan kuundang ia dan istrinya ke rumah bersama kawan lain, aku termenung mendengar lewat telepon (istrinya menelepon istriku) bahwa ia telah meninggal dunia. Jalan kami agak berbeda di masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi persaudaraan kami rasanya tambah erat saja. Aku merasa kehilangan benar-benar.
Seorang kawan lain juga yang juga setelah menikah membawa istrinya berkenalan denganku di Pegangsaan Barat adalah ketua Cabang HMI Jakarta 1950-51, AS Broto. Dahulu dalam tahun 1950-an itu, arti kunjungan kawan dengan istrinya ke rumahku, padahal aku sendiri belum berumah tangga, kurang kufahami secara dalam. Aku melihatnya sebagai cermin keakraban pergaulan belaka. Tetapi setelah berumah tangga, aku menyadari sangat hal ini, karena istri kita tidak kita bawa ke setiap rumah kawan untuk diperkenalkan, kita memilih-milih dalam hal ini. Dan akupun tambah berterima kasih saja atas kunjungan Mashud dan Broto dengan istrinya masing-masing itu ke rumahku.
Kedudukanku sebagai Ketua Umum PB HMI tentu menuntut kesibukan khusus yang bertambah pula. Apalagi suasana tanah air ketika itu menghangat terus, dan ini berpengaruh pada kehidupan mahasiswa. Di samping itu, perlu pula diperhatikan bahwa aku bekerja pula mencari nafkah, sebagai anggota redaksi bahasa Inggris di kantor berita PIA.
Penyusunan anggota pengurus besar tidak sukar amat. Dahlan yang juga made-formateur bersama Wartomo (dia ini sekretaris kongres), mengusulkan agar Wartomo dijadikan wakil ketua. Aku sebenarnya tidak berkeberatan, apalagi kulihat Wartomo memang serius, dan punya pengalaman dalam organisasi walaupun dalam PII. Tetapi dia juga menjadi anggota PB PII ketika itu, dan ini menyebabkan aku tak bisa menerima usul Dahlan. Kepada Wartomo sendiri hal ini kukemukakan pula, setelah sibuk mencari aku usulkan agar Usuluddin Hutagalung menjadi wakil ketua. Baik Dahlan dan Wartomo menyetujuinya.
Usuluddin ini orangnya besar, umurnya lebih tua dari kami. seperti sudah kukatakan ia sudah turut aktif dalam PB waktu revolusi di Yogyakarta. Jadi sebenarnya ia “stok lama”. Tetapi begitulah tidak mudah mencari orang untuk kedudukan ini. Aku masih ingat betapa kami di cabang, untuk mendapatkan calon ketua harus mendatangi beberapa mahasiswa yang senior yang belum menjadi anggota HMI, tetapi yang diketahui ke-Islamannya dengan menawarkan kedudukan ketua itu. Tampaknya kesulitan itu dijumpai lagi dalam mencari wakil ketua untuk PB.
Hutagalung bersedia, dan dengan demikian salah satu kesukaran teratasi. Ia studi di Fakultas Hukum UI. Untuk kedudukan lain dalam rangka PB itu, tidak sesukar mencari wakil ketua. Gunadirdja (dari Sinologi), Harmaini (Ekonomi), Bintoro Tjokroamidjojo (Ekonomi) kuajak masuk dalam PB sebagai sekretaris. tetapi belakangan Bintoro merasa terlalu sibuk, sehingga kedudukannnya digantikan oleh mulanya Zaini Bahri (kalau tak salah dari UID) dan kemudian oleh Hasbullah (Ekonomi).
Bintoro sendiri tetap menangani urusan perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Kelihatannya memang ia menyukai bidang ini. Wasul (Ekonomi) yang pernah bendahari di cabang, kuminta untuk duduk di PB dalam kedudukan yang sama. Belakangan ia dibantu oleh Muchsin (dari Hukum), juga yang bekerja sama denganku di cabang. Pembantu umum mulanya hanya Anas Karim, seorang Mayor TNI yang kuliah di Sinologi, belakangan pembantu umum ini ditambah lagi dengan Ismail Hasan Metareum (Hukum), sedangkan Bintoro dibantu oleh Djoko Sanyoto (Ekonomi).
Ismail Hasan Metareum, seperti kuceritakan di atas, sering ke rumahku di Pegangsaan Barat, berbincang panjang-panjang, dan sering makan siang bersamaku. Ismail peduli benar dengan sikap orang HMI yang menurutnya ada yang kurang dapat sesuai dengan tuntutan Islam. Aku mengakui ini, tetapi kukatakan bahwa dengan pergaulan kebiasaan kawan-kawan seperti itu bisa berubah.
Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan seperti itu bisa berubah. Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan dari berbagai macam daerah, dengan segala macam pembawaan dan kebiasaan, serta sosialisasi yang beragam, akan dapat memperlihatkan hasil final sekaligus. Kelemahan manusia juga harus diakui, walaupun tidak berarti dibiarkan. Ismail tampaknya memahami ini, dan akhirnya ia bersedia masuk sebagai anggota HMI. Aku pun senang dengan keberadaannya dalam lingkungan kami.
Karena ia memang ingin memberikan sumbangannya kepada kami di HMI, kuajak ia masuk dalam pengurus, mulanya di cabang, kemudian di Pengurus Besar. Aku juga berbesar hati kemudian ketika dia menjadi Ketua Umum PB. Aku sangat berterima kasih kepada semua kawan yang duduk dalam PB bersamaku. Terlebih pula karena agak lama juga aku sakit, dari bulan Nopember 1953 sampai Pebruari 1954. Tak kusangka sama sekali aku terbaring seperti itu.
Dalam bulan Desember 1953 organisasi-organisasi pemuda Islam (termasuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshor, Fatayat Nahdhatul Ulama, Pemuda Al-Irsyad, Perti, Pemuda PSII, Pemuda Al-Jamiatul Washliyah, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan HMI) mengadakan kongres untuk menggalang persatuan pemuda Islam umumnya. Sidang-sidang diadakan di gedung Adhuc Stat, kantor Bappenas sekarang.
Kongres memutuskan untuk membentuk suatu Federasi Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia. HMI dipercayakan untuk memimpin panitia politik dari federasi, tetapi sebagaimana dapat diduga panitia ini tidak dapat berjalan dengan baik. Penyakit di kalangan partai-partai Islam tidak mengecualikan pemudanya, sehingga kian lama ide Federasi ini kian kabur. Rapat panitia politik pun akhirnya tidak dapat berjalan oleh karena undangan banyak tidak dipenuhi oleh para anggota sehingga quorum sering tidak tercapai.
Suatu Konperensi Pemuda Islam internasional diselenggarakan di Karachi ketika aku berbaring di rumah sakit. Konperensi ini pun kurang berhasil, terbukti dengan terpilihnya presidennya dari Indonesia, Harsono Tjokroaminoto, yang sudah tidak pemuda lagi. Akibatnya, konperensi itu sekali itu saja diselenggarakan. Tetapi hal ini agaknya merupakan kesalahan pihak Indonesia juga. Kelemahan kita dalam rangka ini antara lain kurangnya dana yang dapat digunakan untuk mengembangkan organisasi dunia ini.
Kongres yang di Jakarta ditutup oleh Presiden Soekarno. Sambutan dari pihak peserta kongres disampaikan oleh Anton Timur Djaelani dari PII. Kongres memutuskan hal-hal biasa: persatuan ummat Islam, kutukan terhadap Perancis yang ingin terus menjajah Aljazair, dan persatuan dunia Islam. Cita-cita memang boleh tinggi, sayang usaha pelaksanaannya kurang kuat mengiring.
*Sumber:* Otobiografi Deliar Noer, _Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa_