Properti
Kota Tanpa Kawasan Kumuh? Hanya Terjadi di atas Kertas!
18.143.23.153- Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera), total luas kawasan kumuh saat ini mencapai 37.407 hektar atau 10 persen dari luas kawasan perkotaan. Pemerintah mencanangkan untuk mengurangi luasan kawasan kumuh tersebut secara bertahap hingga 0 persen hingga 2019.
Menyikapi kebijakan tersebut, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) menyarankan, pemerintah perlu berhati-hati menerjemahkan visi tersebut ke dalam bahasa program dan target yang akan dilaksanakan kabinet kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pemerintah bisa terjebak.
“Kami khawatir pemerintah akan terjebak sendiri dengan jargon Kota Tanpa Kawasan Kumuh, apabila ini menjadi beban dari satu kementerian saja. Di atas kertas mungkin target akan tercapai, tetapi by common sense persoalan kekumuhan tetap terjadi. Ini berpotensi menjadi mimpi buruk bagi Presiden Jokowi,” ujar Ketua IAP Bernardus Djonoputro dalam keterangan pers kepada Kompas.com, Senin (5/12/2014).
IAP menilai, ada tiga hal yang menjadi titik kritis dari program Kota Tanpa Kawasan Kumuh. Pertama, pemahaman yang misleading mengenai asal-muasal kawasan kumuh di Indonesia. Bernardus menjelaskan, kawasan kumuh muncul berdasarkan paduan dari tidak terkendalinya kegiatan perekonomian kota, terbatasnya kapasitas manajemen kota, serta faktor budaya.
Ketiga faktor tersebut seringkali bercampur baur. Oleh sebab itu, dalam rangka menyelesaikan persoalan kawasan kumuh, pemerintah perlu memperhatikan faktor munculnya masing-masing kawasan secara spesifik.
“Tak bisa didekati lewat pendekatan fisik yang generik. Jadi, amat jelas bahwa program ini harus dilaksanakan dengan kacamata lokal yang menghubungkan antara karakter kawasan dengan program yang diluncurkan,” kata Bernardus.
Kedua, lanjut dia, diperlukan program massif dan lintas sektoral yang konkret dan melibatkan
berbagai pihak. Program yang semata-mata hanya dilaksanakan oleh Kementerian PU-Pera hanya akan mendekati persoalan kumuh dari kacamata luasan kawasan, jenis sarana prasarana dan paling minimal penguatan masyarakat.
“Tanpa komitmen konkret dalam bentuk program dari instansi lain, pemerintah bisa saja terjebak pada program memperindah kawasan tanpa menyelesaikan akar permasalahan kawasan kumuh itu sendiri,” tutur Bernardus.
Bernardus mengatakan, pemerintah punya pengalaman membangun Kampung Improvement Project (KIP) yang keberhasilannya sudah diakui dunia. Untuk itu, dia mengimbau pemerintah untuk mereplikasi program tersebut dengan berbagai penyempurnaan yang ada sesuai dinamika desentralisasi.
Adapun titik kritis ketiga pemerintah perlu menginternalisasi program “Kota tanpa kawasan kumuh†dalam kebijakan dan regulasi yang solid. Salah satu momen bisa dimanfaatkan adalah penyusunan Peraturan Pemerintah mengenai kawasan perkotaan yang mengakomodasi upaya mewujudkan visi kota tanpa kawasan kumuh.
Namun demikian, PP Kawasan perkotaan, yang merupakan amanah UU23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, jangan kemudian dijadikan regulasi yang melahirkan rencana-rencana baru. PP tersebut dapat memberikan arahan yang konkret untuk para pengelola kota upaya meningkatkan kualitas kawasan perkotaan, terutama mengatasi kawasan kumuh.
“Pemerintah kerap menyatakan dibutuhkan kemitraan dengan Pemerintah Daerah untuk mengatasi kawasan kumuh, terutama soal pendanaan. Akan tetapi, belum tampak pola pengelolaan yang riil bagaimana Pemerintah Pusat akan bermitra dengan Pemerintah Daerah untuk mengatasi kawasan kumuh,” jelas Bernardus.
Pendekatan kemitraan yang berbasis pembagian pendanaan, menurut dia, beberapa kali mengalami kegagalan. Hal itu diperparah dengan pola pendekatan pembangunan terdesentralisasi yang membuat banyak kepala daerah tidak mau begitu saja melaksanakan kebijakan dan program dari pemerintah pusat.
“Tipikal kepemimpinan Presiden (Jokowi) yang mengayomi warganya saat menjadi walikota dan gubernur harus direplikasi oleh jajarannya dalam mengayomi Pemerintah Daerah dalam menyukseskan visi presiden. Program Pemerintah harus menginspirasi Pemerintah Daerah bukan menjadi beban ataupun iming-iming mendapatkan pendanaan APBN,” katanya. (source via kompas.com)