BANTEN OKE
LKP Menilai Mendagri Sewenang-wenang
18.143.23.153- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi yang meminta Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah untuk melimpahkan wewenangnya kepada Wakil Gubernur (Wagub) Rano Karno, dinilai telah sewenang-wenang dan tidak memiliki etika.
“Itu adalah bukti dari sikap dan kebijakan Mendagri yang tidak punya etika birokrasi, etika pemerintahan, etika politik, etika hukum, dan etika kelembagaan. Apa yang seharusnya tidak dilakukan, ia lakukan,” kata Direktur Lembaga Kebijakan Publik (LKP) Ibnu Jandi di Tangerang,
Rabu (1/1/2014).
Sikap Mendagri yang tidak didasari hukum itu, jelas Ibnu Jandi, telah membuat suasana politik di Provinsi Banten semakin tidak kondusif.
Terbukti muncul sejumlah pernyataan anggota DPRD Provinsi Banten yang ingin melakukan interpelasi terhadap jabatan Gubernur Banten.
Tujuannya, tutur Ibnu Jandi, bukan untuk memajukan Provinsi Banten agar lebih baik. Melainkan mendorong orangnya supaya bisa menggantikan Gubernur Banten dalam menjalankan kebijakannya.
“Inilah yang terjadi di Banten sekarang. Banyak orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,” kritik Ibnu Jandi, pengajar Illmu Politik dan Sosial di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Banten.
Lebih jauh ia memaparkan, seharusnya Mendagri tidak berbuat seperti itu. Alasannya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo PP No 49 tahun 2008 Pasal 1, 2, 3, 4, menyebutkan bahwa seseorang belum bisa diberhentikan dari jabatannya apabila status yang bersangkutan masih tersangka.
Mendagri pun, imbuhnya, tidak bisa memaksakan diri kepada Gubernur Banten untuk mendelegasikan kebijakannya kepada Wakil Gubernur Banten, apabila Gubernur Banten sendiri belum memberikannya.
“Ini karena Gubernur Banten dipilih oleh rakyat, bukan Mendagri,” pungkasnya.
Ibnu Jandi menilai, intervensi Mendagri terhadap Pemerintahan Provinsi Banten tersebut, telah melanggar UUD-RI 1945 Pasal 18 dan UU No 32 TH 2004 jo UU No 12 TH 2008 serta Peraturan Pemerintah No 38 TH 2007 tentang Pemerintahan.
Dalam konsep Negara Kesatuan, kata Jandi, semua wewenang memang milik pemerintah pusat, namun pemerintah pusat tidak dapat melaksanakan seluruh kewenangannya, kemudian sebagian wewenangnya diserahkan pada daerah.
Ini disebut desentralisasi, karena ada pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga terbentuklah hierarki kekuasaan.
Pembagian kekuasaan itu, kata dia, terdapat pada Pasal 18 UUD NRI 1945 dan Pasal 2 Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini menerangkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dan memiliki pemerintahan daerah.
“Pemerintahan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dari pasal tersebut secara eksplisit tercermin bahwa Negara Kesatuan tidaklah sentralistik,” ujar Ibnu Jandi. (k6)