Opini
KPPU Terlambat Menggonggong: Ancaman Batal Merger Grab–GoTo dan Ironi Penjaga Persaingan
Oleh: Wawan Setiawan (Direktur strategis Jaringan Aktivis Nusantara)
Pernyataan keras Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Fanshurullah Asa soal kemungkinan pembatalan merger antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk dan Grab Holdings patut dicermati. Namun peringatan itu sekaligus memunculkan ironi besar: mengapa suara lantang tersebut baru terdengar sekarang, setelah bertahun-tahun dominasi pasar dibiarkan berlangsung tanpa koreksi berarti?
Sebagai generasi muda yang menyaksikan langsung bagaimana Grab dan Gojek menjadi tulang punggung ekonomi jutaan pengemudi dan pelaku UMKM, saya merasa perlu mengajukan catatan kritis. Dominasi kedua perusahaan ini, yang menguasai lebih dari 90 persen pasar transportasi dari Online bukan fenomena baru. Fakta ini telah terlihat jelas di jalan-jalan kota Indonesia sejak lama, jauh sebelum wacana merger mencuat ke ruang publik.
Pertanyaan mendasar pun mengemuka: di mana KPPU ketika struktur pasar yang sangat terkonsentrasi itu terbentuk? Jika ancaman monopoli menjadi alasan utama, mengapa peringatan keras baru disampaikan ketika proses konsolidasi hampir mencapai garis akhir?
Situasi ini menjadi semakin paradoksal karena pernyataan KPPU muncul tak lama setelah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) lembaga strategis yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto masuk sebagai penopang GoTo. Publik wajar bertanya: apakah ini bentuk pengawasan proaktif, atau sekadar respons terlambat terhadap dinamika yang telah berlangsung lama?
Indonesia tidak boleh terus-menerus ditempatkan hanya sebagai pasar empuk bagi entitas asing. Grab merupakan perusahaan berbasis di Singapura. Jika merger ini kandas tanpa skema solusi yang berpihak pada kepentingan nasional, bukan mustahil justru pihak luar yang kembali diuntungkan, sementara Indonesia kehilangan momentum membangun kekuatan teknologi sendiri.
Presiden Prabowo telah memberi arah jelas melalui Danantara: mendorong lahirnya national digital champion yang mampu bersaing di tingkat regional. Membatalkan merger tanpa alternatif yang konstruktif sama saja dengan menutup jalan menuju kemandirian ekonomi digital dan melemahkan posisi Indonesia di tengah kompetisi Asia Tenggara.
Saya tidak menafikan peran KPPU sebagai penjaga persaingan usaha yang sehat. Namun pengawasan yang efektif seharusnya hadir sejak awal, bukan ketika pasar sudah terkunci dan negara berupaya melakukan koreksi strategis. Penegakan hukum yang terlambat berisiko berubah menjadi penghambat pembangunan, bukan pelindung kepentingan publik.
Alih-alih melontarkan ancaman pembatalan, KPPU seharusnya mendorong pendekatan yang lebih solutif dan berorientasi pada keadilan sosial. Misalnya, menetapkan syarat ketat dalam merger: pembatasan kenaikan tarif, peningkatan skema bagi hasil bagi pengemudi, kepemilikan saham bagi karyawan dan UMKM, serta larangan pemutusan hubungan kerja secara massal.
Pengalaman negara lain seperti India dan Tiongkok menunjukkan bahwa konsolidasi sektor teknologi dapat diizinkan dengan regulasi yang tegas dan berpihak pada kepentingan nasional. Indonesia semestinya belajar dari praktik tersebut, bukan sekadar mengandalkan retorika pembubaran yang berpotensi kontraproduktif.
Generasi muda siap mengawal proses merger ini agar berjalan transparan dan berkeadilan. Namun kami juga tidak akan tinggal diam jika institusi negara justru terlihat menghambat visi besar Indonesia menjadi kekuatan digital di kawasan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan bangsa ini bukan pertarungan ego antara regulator dan korporasi, melainkan kolaborasi cerdas antara negara dan pelaku usaha. Tujuannya satu: memastikan Indonesia tidak lagi menjadi penonton di negeri sendiri, melainkan pemain utama di panggung ekonomi digital regional.
Editor: Hary






