Connect with us

TangselOke

Benturan Kebijakan Pusat–Daerah: PSEL Tangsel Terganjal di Tengah Jalan

Ilustrasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Serpong Tangerang Selatan

Opini

Benturan Kebijakan Pusat–Daerah: PSEL Tangsel Terganjal di Tengah Jalan

Oleh : Dwi Haryanto (Ketua SMSI Tangsel Periode 2021-2024)

Rencana pembangunan fasilitas Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Kota Tangerang Selatan kembali menjadi sorotan publik. Apa yang seharusnya menjadi langkah strategis dalam mengurai persoalan sampah justru berubah menjadi polemik panjang akibat ketidaksinkronan antara kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Ketika Pemkot Tangsel bergerak cepat melaksanakan tender pembangunan PSEL berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 35 Tahun 2018, Pemerintah Pusat tiba-tiba menerbitkan Perpres No. 109 Tahun 2025 yang menetapkan perubahan arah pembangunan PSEL secara nasional—termasuk memindahkan lokasi prioritas PSEL ke wilayah Kabupaten Tangerang (Jatiwaringin).

Dinamika “tabrakan payung hukum” ini menimbulkan pertanyaan fundamental: bagaimana nasib pemenang tender PSEL Tangsel yang sudah diumumkan, bagaimana tanggung jawab hukum Pemkot sebagai pihak penyelenggara tender, dan apakah kebijakan percepatan pembangunan PSEL di Tangsel selama ini berdiri di atas dasar teknis dan administratif yang kuat?

Pemerintah Daerah Bergerak Cepat, Namun “Tergelincir” Regulasi

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemkot Tangsel menampilkan kesan ingin menunjukkan keseriusan dalam menghadapi masalah sampah. Melalui pemberitaan resmi, Pemkot menggelar kick-off pembangunan PSEL di Cipeucang dengan menyatakan bahwa proyek tersebut merupakan terobosan penting dalam mengatasi krisis sampah yang semakin mendesak.

Namun langkah cepat tersebut ternyata tidak didukung oleh persiapan mendalam. Lokasi Cipeucang hingga kini belum memiliki studi kelayakan yang komprehensif, baik dari aspek geologi, daya dukung lingkungan, aksesibilitas, maupun potensi gangguan sosial. Padahal, Perpres 35/2018 maupun Perpres terbaru 109/2025 sama-sama mensyaratkan kajian teknis lengkap, termasuk analisis lingkungan (AMDAL), ketersediaan lahan yang sesuai, serta jaminan pasokan minimal 1.000 ton sampah per hari.

Dengan kata lain, sebelum perubahan kebijakan pusat sekalipun, proyek PSEL Tangsel sebenarnya masih berada pada tahap yang sangat prematur. Ketergesaan Pemkot justru menimbulkan persepsi bahwa ada motivasi politik untuk memamerkan “proyek strategis” ketimbang menjalankan proses pengadaan yang kokoh secara teknis.

Perpres 109/2025: Sentralisasi Kebijakan dan Pergeseran Kewenangan

Terbitnya Perpres No. 109 Tahun 2025 menjadi titik balik yang signifikan. Perpres baru ini hadir untuk menggantikan Perpres 35/2018 karena dinilai tidak efektif dalam mendorong percepatan pembangunan PSEL. Namun yang menarik, Perpres 109/2025 membawa perubahan mendasar pada tata kelola proyek: pemerintah pusat kini mengambil alih sebagian besar proses, mulai dari pemilihan badan usaha pengelola (BUPP), kajian teknis, hingga perjanjian jual beli listrik dengan PLN.

Peran pemerintah daerah diperkecil menjadi penyedia lahan, penyedia sampah, dan penerbit pernyataan kesiapan. Artinya, proses lelang terbatas yang dilakukan Pemkot Tangsel tidak lagi relevan, karena hanya BPI Danantara (holding BUMN) dan PLN yang berwenang menentukan BUPP PSEL di era regulasi baru ini.

Perubahan arah kebijakan ini membuat proyek PSEL Tangsel yang sebelumnya berjalan menjadi “macet di tengah jalan”. Lokasi prioritas pun dialihkan ke Kabupaten Tangerang, yang menurut analisis pemerintah pusat dianggap lebih siap secara teknis.

Nasib Badan Usaha Pemenang Tender: Menggantung dan Berpotensi Merugi

Inilah salah satu dampak paling serius dari disharmoni regulasi: ketidakpastian nasib badan usaha yang sudah memenangkan tender. Perpres 109/2025 memang memuat aturan peralihan pada Pasal 31, namun ketentuannya sangat ketat. Proyek yang sedang berjalan hanya dapat dilanjutkan jika:

1. teknologi yang digunakan teruji dan ramah lingkungan,

2. mampu mengurangi volume sampah secara signifikan,

3. dapat dioperasikan sesuai standar, dan

4. proses sebelumnya sudah memiliki kesepakatan kontraktual yang lengkap.

Masalahnya, banyak daerah termasuk Tangsel belum mencapai tahap tersebut. Jika ternyata proyek harus dihentikan, badan usaha pemenang tender dapat mengalami kerugian, mulai dari biaya administrasi, kajian awal, hingga evaluasi teknologi. Secara hukum, badan usaha tersebut dapat meminta kompensasi, kecuali jika dalam dokumen pengadaan telah tercantum klausul pelepasan tanggung jawab akibat perubahan kebijakan nasional (force majeure regulatif).

Namun apakah Pemkot Tangsel siap dengan konsekuensi itu? Mengingat keterbatasan anggaran daerah, potensi sengketa bisa menjadi beban tambahan. Apalagi proses tender yang dilakukan sebelum terbitnya Perpres baru kemungkinan besar belum memperhitungkan skenario perubahan kebijakan nasional.

Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah seharusnya lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru memulai tender besar ketika payung hukum yang mengatur kebijakan nasional masih berpotensi berubah.

Ketergesaan yang Menimbulkan Ketidakpastian

Dalam kebijakan publik, kecepatan bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan. Kecepatan tanpa perencanaan hanya akan menghasilkan kebijakan rapuh, boros anggaran, dan rawan sengketa. Pemkot Tangsel tampaknya terlalu fokus pada narasi “gerak cepat” dalam menyelesaikan masalah sampah, tetapi mengesampingkan kesiapan administratif dan teknis yang merupakan fondasi utama keberhasilan proyek jangka panjang seperti PSEL.

Beberapa fakta berikut memperkuat kesan ketergesaan tersebut:

Lokasi Cipeucang belum memenuhi seluruh kriteria lahan PSEL sesuai Pasal 4 Perpres 109/2025. Belum ada jaminan pasokan minimal 1.000 ton sampah per hari. Konsultasi publik dan integrasi rencana ke dalam dokumen perencanaan daerah belum tuntas. Kajian teknis operasional dan keekonomian belum disusun oleh lembaga berwenang. Aspek kerja sama antar daerah (jika pasokan sampah tidak mencukupi) tidak disiapkan. Ketika pondasi belum kokoh, perubahan kebijakan pusat justru memperlihatkan betapa lemahnya kesiapan proyek tersebut.

Perubahan Kebijakan Tidak Boleh Mengorbankan Kepastian Hukum

Pemerintah pusat tentu memiliki alasan kuat memusatkan pembangunan PSEL di Kabupaten Tangerang. Namun perubahan besar seperti ini seharusnya dibarengi mekanisme transisi yang jelas, termasuk perlindungan bagi pemerintah daerah dan pemenang tender yang sudah terlibat dalam proses sebelumnya.

Kepastian hukum adalah prinsip fundamental dalam pengadaan proyek publik. Badan usaha yang sudah berpartisipasi dalam tender resmi berhak memperoleh kejelasan—apakah proyek dilanjutkan, dihentikan, atau dialihkan kepada skema pusat. Tanpa ini, iklim investasi dalam pengelolaan sampah justru dapat menurun, karena pelaku usaha takut dirugikan oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah.

Saatnya Mengutamakan Tata Kelola, Bukan Sekadar Percepatan

Kasus PSEL Tangsel adalah cermin bagaimana ketidaksinkronan regulasi dapat memicu persoalan multidimensi: administratif, hukum, ekonomi, dan sosial. Pemerintah Daerah Tangsel harus berhenti bersikap terburu-buru dan mulai menata ulang seluruh proses kebijakan berdasarkan payung hukum yang berlaku saat ini.

Prioritas utama bukan lagi mengejar citra gerak cepat, melainkan memastikan bahwa:

1. Seluruh persyaratan teknis dan administrasi dipenuhi,

2. Kepastian hukum bagi pemenang tender dijaga,

3. Koordinasi dengan pemerintah pusat dilakukan secara serius,

4. Kajian kelayakan lokasi dilakukan secara ilmiah, dan

5. Pengelolaan sampah dijalankan secara berkelanjutan, bukan politis.

Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang kokoh secara regulatif, matang secara teknis, dan adil bagi semua pihak. Jika Tangsel ingin benar-benar keluar dari lingkaran masalah sampah, maka pembenahan tata kelola harus menjadi prioritas—bukan sekadar proyek besar yang dikejar tanpa fondasi yang siap.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top
Exit mobile version