Connect with us

TangselOke

Besaran Tunjangan DPRD Tangsel Terus Disorot, Rumah Dinas Jadi Perhatian

Info Tangsel

Besaran Tunjangan DPRD Tangsel Terus Disorot, Rumah Dinas Jadi Perhatian

Tangerang Selatan – Besaran gaji, tunjangan, dan fasilitas yang diterima anggota DPRD Kota Tangerang Selatan kembali menuai sorotan. Berdasarkan dokumen Rangkuman Komponen Gaji, Tunjangan, dan Fasilitas DPRD Tangsel (Perwali 25/2017), setiap anggota dewan menerima berbagai komponen penghasilan dengan nilai yang cukup besar, mulai dari uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, hingga dana operasional pimpinan.

Dalam rincian, Ketua DPRD Tangsel menerima uang representasi Rp2,1 juta, Wakil Ketua Rp1,68 juta, dan anggota Rp1,57 juta. Tunjangan keluarga (istri dan dua anak) berkisar Rp220 ribu–Rp294 ribu per bulan. Selain itu, tunjangan jabatan untuk Ketua mencapai Rp3,04 juta, Wakil Ketua Rp2,43 juta, dan anggota Rp2,28 juta.

Komponen paling besar terdapat pada tunjangan komunikasi intensif Rp14,7 juta per bulan, tunjangan perumahan Rp19,5–Rp21,5 juta per bulan, serta tunjangan transportasi Rp15 juta per bulan untuk anggota, sementara Ketua dan Wakil Ketua mendapatkan fasilitas mobil dinas berikut BBM 300 liter. Ketua DPRD juga memperoleh dana operasional Rp12,6 juta dan Wakil Ketua Rp8,4 juta per bulan.

Selain itu, anggota DPRD menerima tunjangan reses Rp14,7 juta per kegiatan sebanyak tiga kali setahun, tunjangan alat kelengkapan Rp91 ribu–Rp228 ribu per bulan tergantung posisi di komisi atau badan, pakaian dinas dan atribut Rp1,5–Rp3,5 juta per pasang, serta biaya perjalanan dinas dalam/luar daerah.

Ada pula tunjangan kunjungan kerja (sewa kendaraan) Rp4 juta per hari, bimtek/peningkatan kapasitas Rp5 juta per kegiatan, dan honor tenaga ahli fraksi Rp10,9 juta per bulan.

Komponen lain yang diterima adalah uang jasa pengabdian (pensiun) Rp1,57 juta–Rp12,6 juta dibayarkan sekali di akhir masa bakti, tunjangan hari raya (THR) Rp4,3–Rp5,7 juta, serta gaji ke-13 dengan jumlah sama.

Sorotan Publik

Peneliti kebijakan publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro, menilai bahwa aturan mengenai hak keuangan dan administratif anggota DPRD sebenarnya sudah diatur secara jelas melalui Undang-Undang MD3, peraturan pemerintah, hingga diturunkan dalam peraturan wali kota. Namun, ia menekankan pentingnya kepekaan sosial para wakil rakyat.

“Persoalannya ada pada kesadaran anggota dewan terhadap situasi ekonomi daerah. Mereka seakan lupa ada kepekaan yang harus tumbuh. Rasanya tidak enak makan mewah di tengah masyarakat yang sedang kesulitan,” ujarnya.

Riko menambahkan, beberapa tunjangan seperti rumah dinas sejatinya bisa ditunda tanpa mengurangi martabat anggota DPRD. “Apakah tanpa tunjangan rumah mereka akan tinggal di pinggir jalan? Tentu tidak. Mereka tetap punya tempat tinggal. Jadi ini soal kepekaan,” katanya kepada wartawan beberapa waktu lalu melalui sambungan WhatsAppnya

Menurutnya, penundaan atau pengurangan tunjangan tertentu tidak serta-merta menurunkan kinerja dewan. Justru seharusnya momentum tersebut menjadi ajang membangun komunikasi lebih elegan dengan masyarakat. “Mereka wakil rakyat, bukan kelompok pengangguran yang mencari nafkah lalu berfoya-foya,” tegasnya.

Kritik terhadap Tunjangan Perumahan dan Tenaga Ahli

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas 17 Agustus, Fernando Emas, menyoroti khusus tunjangan perumahan yang dinilainya tidak relevan untuk anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota.

“Kalau DPR RI memang wajar difasilitasi rumah dinas karena mereka mewakili provinsi dengan wilayah luas, sedangkan anggota DPRD kabupaten/kota seharusnya tinggal di rumah mereka sendiri. Jadi tunjangan rumah mestinya ditiadakan,” ujarnya.

Fernando juga menyinggung soal rekrutmen tenaga ahli DPRD yang dinilainya sering dimanfaatkan hanya untuk orang-orang dekat. “Seharusnya dilakukan open recruitment yang transparan dan profesional, bukan sekadar bagi-bagi posisi,” katanya.

Menurutnya, fasilitas dan tunjangan DPRD harus benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, bukan pribadi. “Kalau perlu dilakukan evaluasi menyeluruh. Jangan sampai ada kesan timpang, ketika masyarakat masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara wakil rakyatnya menerima fasilitas berlimpah,” tutupnya.(Adt)

To Top
Exit mobile version