Opini
Pejabat Empatimu Pencitraan!!!, Ratusan Jiwa Kau Lupakan
Beberapa hari terakhir publik ramai membicarakan tragedi seorang pengemudi ojek online yang tewas setelah terlindas kendaraan Brimob saat mengikuti aksi unjuk rasa. Dari selebgram, pejabat, hingga Presiden, semua berlomba menunjukkan empati dengan memberikan santunan kepada keluarga korban. Media sosial dipenuhi ucapan belasungkawa, tagar kepedulian, dan bahkan aksi penggalangan dana.
Namun, di balik gemerlap empati yang viral itu, ada ironi besar yang sengaja dilupakan. Ribuan, bahkan ratusan ribu guru honorer di negeri ini setiap bulan hanya digaji Rp250 ribu. Bayangkan, pengabdi bangsa yang setiap hari mengajar, mendidik, dan membentuk masa depan anak-anak Indonesia, harus bertahan hidup dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk membeli beras sebulan.
Lebih ironis lagi, di kursi empuk kekuasaan, para pejabat negeri ini menikmati tunjangan fantastis: mulai dari Rp50 juta hingga Rp200 juta per bulan. Kontras yang begitu menyakitkan. Di satu sisi ada guru yang harus memutar otak memberi makan anak dan istrinya dengan upah tak manusiawi, di sisi lain ada pejabat yang mungkin tak habis uangnya meski hanya duduk di balik meja rapat.
Di mana letak empati itu sesungguhnya? Mengapa ketika satu kasus tragis terjadi dan viral, semua pejabat berlomba-lomba menunjukkan kepedulian, seolah menjadi pahlawan? Tetapi ketika ratusan ribu guru berteriak soal nasibnya, negara seakan tuli.
Empati seharusnya bukan hanya ketika kamera menyorot atau publik sedang ramai membicarakan satu peristiwa. Empati sejati adalah keberpihakan nyata terhadap mereka yang berjuang tanpa suara. Para guru yang bergaji Rp250 ribu itu jauh lebih layak mendapat perhatian serius daripada sekadar santunan seremonial untuk pencitraan.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin seorang guru yang gajinya tak cukup membeli kebutuhan pokok, bisa fokus mendidik anak-anak bangsa? Bagaimana mereka bisa menyiapkan generasi cerdas bila untuk sekadar makan saja harus berhutang?
Tragedi ojol yang viral memang patut disesalkan. Tetapi jangan lupa, ada tragedi yang lebih besar, lebih lama, dan lebih menyakitkan: ketidakadilan negara terhadap para guru honorer. Dan selama pejabat hanya sibuk berempati ketika sorotan publik datang, maka jelas: empati itu hanyalah omong kosong, sekadar pencitraan belaka.
Penulis Opini : M. Ilham. T (Mahasiswa UNPAM FAKULTAS TEKNIK)
Editor: Hary