Opini
Tangsel, Kota Pintar Dengan Dua Wajah
Kota Tangerang Selatan selalu punya dua wajah yang kontras. Di satu sisi, wajahnya tampak bersih dan modern. Gedung-gedung menjulang di kawasan bisnis, jalan-jalan mulus di depan perumahan elit, dan papan reklame yang berkilau memberi kesan seolah kota ini sedang berlari menuju masa depan. Nama-nama besar pengembang seperti BSD City, Bintaro Jaya, atau Alam Sutera menjadi ikon kemewahan sekaligus bukti bahwa Tangsel adalah rumah bagi kelas menengah atas metropolitan. Siapa pun yang berkunjung ke kawasan ini akan dengan mudah percaya bahwa label “kota pintar” yang sering dibanggakan pemerintah kota bukan sekadar jargon.
Namun, wajah lain muncul begitu kita melangkah sedikit lebih jauh. Di Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, atau Pondok Aren, realitas berbeda menunggu. Jalanan penuh lubang menyambut pengendara motor, seolah sedang menguji nyali setiap kali melintas. Trotoar yang rusak atau bahkan tidak tersedia membuat pejalan kaki harus beradu dengan kendaraan. Dan yang paling mencolok: tumpukan sampah di pasar tradisional yang tak pernah benar-benar hilang, hanya berganti hari dan berganti bau. Warga di wilayah ini tahu betul bahwa label “Kota Pintar” terasa seperti slogan kosong, karena yang mereka hadapi sehari-hari adalah bau busuk yang lebih pintar menyusup ke hidung daripada janji pembangunan.
Fakta yang tak bisa disangkal, Tangsel memproduksi sekitar 800 ton sampah setiap hari. Angka ini terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi. Pemerintah kota memang punya rencana besar, yaitu membangun PSEL (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang diklaim mampu mengolah lebih dari seribu ton sampah per hari. Sebuah proyek ambisius yang jika berhasil akan menjadikan Tangsel sebagai kota percontohan. Tapi proyek besar itu, seperti biasa, lebih sering hadir di panggung peresmian dan slide presentasi ketimbang dalam kehidupan sehari-hari warga yang saban pagi harus melewati TPS penuh belatung.
Masalah sampah di Tangsel sebenarnya bukan semata soal teknologi pengolahan. Yang lebih mendesak adalah distribusi dan manajemen harian. Dinas Lingkungan Hidup sendiri sudah mengaku kekurangan armada. Kebutuhan truk sampah bisa mencapai ratusan unit, tetapi jumlah yang tersedia jauh dari cukup. Akibatnya, sampah menumpuk di TPS dan pasar. Pedagang di Pasar Ciputat pernah mengeluh bahwa sampah tak diangkut tepat waktu hingga belatung bertebaran. Situasi ini tidak hanya mengganggu estetika, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat.
Ironinya, di tengah bau menyengat yang jadi langganan warga, publik dikejutkan oleh kabar dugaan korupsi di Dinas Lingkungan Hidup Tangsel. Proyek pengelolaan sampah dengan nilai mencapai puluhan miliar rupiah diduga jadi ladang mark-up dan pengadaan fiktif. Anggaran yang seharusnya dipakai untuk menambah armada, memperbaiki sistem pengangkutan, atau membangun TPS yang layak justru raib entah ke mana. Maka jangan heran jika banyak warga merasa jengkel: bagaimana mungkin masalah sesederhana sampah bisa jadi bahan bancakan pejabat?
Bandingkan dengan kawasan BSD City yang dikelola Sinar Mas Land. Di sana, manajemen swasta mengurus sekitar 40 ton sampah per hari dengan sistem yang rapi. Sampah diangkut tepat waktu, dipilah, diproses, dan warga cluster tak perlu pusing memikirkan kapan sampah mereka akan hilang. Iuran rutin dibayarkan, layanan bersih diberikan. Semua tampak normal, bahkan nyaris tak terdengar ada masalah. Beda nasib dengan warga di Ciputat Timur atau Pondok Aren, yang setiap minggu dipaksa berdamai dengan gunungan sampah di ujung jalan.
Kondisi ini menimbulkan kelas sosial baru dalam hal layanan kebersihan. Ada warga Tangsel edisi “premium” yang tinggal di cluster elit dengan fasilitas setara kota modern, dan ada warga Tangsel edisi “lite” yang harus menerima kenyataan hidup berdampingan dengan sampah. Padahal, mereka sama-sama warga kota, sama-sama membayar pajak, dan sama-sama memiliki hak atas layanan publik. Bedanya, yang satu hidup di bawah pengelolaan swasta, sementara yang lain hanya bergantung pada pemerintah kota. Ketimpangan ini jelas tidak adil, tapi seolah dianggap lumrah.
Sampah hanyalah satu bagian dari persoalan. Infrastruktur jalan adalah cerita lain yang tak kalah menyedihkan. Anggaran infrastruktur Tangsel sejatinya tidak kecil. Tahun 2023, misalnya, pemerintah kota mengalokasikan lebih dari Rp120 miliar, naik drastis dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp13 miliar. Tetapi warga di Pamulang atau Ciputat tahu persis bahwa angka di APBD tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Banyak jalan yang diperbaiki sekadar tambal sulam, baru beberapa bulan sudah berlubang lagi. Beberapa ruas bahkan tak pernah disentuh perbaikan, sehingga pengendara harus terbiasa zig-zag menghindari lubang, mirip memainkan gim balapan dengan taruhan nyawa.
Citra “Kota Pintar” pun terasa semakin satir. Jika di kawasan BSD orang bisa menikmati jalan mulus dan bersih, di kecamatan lain warga harus puas dengan jalan bergelombang dan sampah yang menggunung. Tangsel seolah menggunakan dua sistem operasi berbeda: versi pro untuk kawasan elit, lengkap dengan fitur jalan halus, sampah terangkut, dan lampu jalan menyala, sementara versi lite untuk kecamatan non-elit, dengan fitur minimal berupa janji pejabat dan perbaikan seadanya.
Kritik ini tentu bukan sekadar keluhan. Ada yang lebih mendasar: soal keadilan layanan publik. Kota bukan hanya milik mereka yang bisa membeli rumah di cluster mahal, melainkan juga milik pedagang di pasar Ciputat, ojek online di Pamulang, atau ibu rumah tangga di Pondok Aren. Semua warga berhak atas jalan yang layak dan lingkungan yang bersih. Mengapa pemerintah kota begitu mudah memamerkan proyek besar yang terdengar futuristik, tapi begitu sulit memastikan sampah di pasar tidak meluber setiap hari?
Jawabannya mungkin sederhana: proyek besar lebih enak dipamerkan, sementara masalah kecil dianggap tidak seksi. Padahal, justru masalah kecil itulah yang setiap hari dirasakan warga. Sampah yang menumpuk bukan sekadar bau, tetapi simbol kegagalan pemerintah menghadirkan keadilan. Jalan berlubang bukan sekadar aspal rusak, tetapi tanda bahwa anggaran besar tak pernah benar-benar turun ke rakyat.
Jika Tangsel benar ingin disebut kota pintar, langkah pertama bukanlah membangun jargon digital atau meresmikan proyek listrik tenaga sampah. Langkah pertama adalah menghadirkan keadilan yang paling sederhana: memastikan sampah diangkut tepat waktu, memastikan jalan diperbaiki dengan kualitas baik, dan memastikan warga non ”kecamatan swasta” mendapat layanan yang sama dengan warga ”kecamatan swasta”. Inovasi memang penting, tetapi akuntabilitas lebih penting. Rencana besar memang menarik, tetapi kebersihan pasar lebih mendesak.
Warga Tangsel tidak butuh janji manis, mereka butuh kota yang bisa dihirup tanpa menutup hidung. Mereka tidak ingin bangga disebut tinggal di kota pintar, jika setiap hari harus melewati jalan rusak menuju rumah. Satire boleh jadi cara kita menyampaikan kekesalan, tapi inti kritik ini sederhana: kota harus hadir untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang mampu membeli rumah di cluster elit.
Karena pada akhirnya, bau sampah tidak mengenal kelas sosial, dan lubang jalan tidak peduli apakah ban yang masuk adalah ban Alphard atau ban motor bebek. Semua orang sama-sama terjebak, sama-sama terganggu, sama-sama berhak atas kota yang layak. Tangerang Selatan bisa saja terus memoles citra di luar, tetapi selama Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, dan Pondok Aren dibiarkan bergelut dengan sampah dan jalan rusak, label kota pintar hanyalah topeng tipis di wajah yang sedang menua sebelum waktunya.
Editor: Hary