Opini
Turunnya Tarif, Naiknya Risiko: Menakar Efek Jangka Panjang Kesepakatan Dagang Indonesia-AS
Oleh: Sapraji, S.Th.I., M.AP
Analis Kebijakan Publik & Founder IDIS INDONESIA GROUP
Kesepakatan dagang terbaru Indonesia-Amerika Serikat yang mencakup 11 poin utama disambut hangat pemerintah. Penurunan tarif untuk komoditas unggulan tekstil, alas kaki, karet, kopi, hingga produk agrikultur diproyeksikan mampu memperluas pasar ekspor dan memperkuat daya saing industri padat karya. Pemerintah bahkan memperkirakan ekspor nonmigas akan tumbuh 8-10% dalam dua tahun ke depan, di tengah lesunya permintaan global.
Namun, euforia ini terjadi di saat ekonomi nasional masih rapuh. Pertumbuhan 2024 hanya mencapai 5,03%, terendah dalam tiga tahun terakhir, dan turun lagi menjadi 4,87% pada kuartal pertama 2025 (BPS, 2025). Inflasi memang terkendali di 1,57%, tetapi hanya berkat subsidi energi yang membengkak, mempersempit ruang fiskal untuk investasi produktif. Bank Indonesia pun menurunkan suku bunga ke 5,50% demi menjaga konsumsi di tengah daya beli yang melemah.
Peluang yang Menggoda, Syarat yang Berat
Tarif yang lebih rendah memberi ruang bagi produk Indonesia untuk lebih kompetitif di pasar AS. Sektor-sektor padat karya berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, sementara investor asing mulai melirik Indonesia, termasuk rencana pembangunan kilang modular senilai US$?8 miliar. Transfer teknologi dari investasi ini diharapkan memperkuat basis industri nasional.
Tetapi akses ini datang dengan syarat ketat. Pasar AS menerapkan standar kualitas, keamanan, dan keberlanjutan yang tinggi. Industri kecil dan menengah memerlukan modal besar untuk sertifikasi, modernisasi teknologi, dan peningkatan SDM agar bisa memanfaatkan tarif preferensial. Tanpa adaptasi cepat, keuntungan ini bisa menjadi peluang semu.
Ketergantungan pada satu pasar juga menyimpan risiko laten. Lebih dari 40% ekspor Indonesia saat ini masih terkonsentrasi pada segelintir mitra utama (World Bank, 2024). Dengan bertambahnya ekspor ke AS, risiko konsentrasi baru semakin besar. Perubahan kebijakan dagang Washington misalnya kembalinya tarif proteksionis dapat mengguncang industri yang sudah berinvestasi besar untuk memenuhi permintaan pasar Amerika.
Momentum atau Jebakan Baru?
Kesepakatan tarif ini terjadi di tengah dinamika geopolitik yang cepat berubah. AS tengah merestrukturisasi rantai pasok untuk mengurangi ketergantungan pada Tiongkok, dan Indonesia menjadi salah satu penerima manfaatnya. Namun, keuntungan ini bisa bersifat sementara. Tanpa strategi industrialisasi dan diversifikasi pasar, Indonesia berisiko tetap terjebak sebagai pemasok barang mentah dan setengah jadi dengan nilai tambah rendah.
Lebih jauh, manfaat tarif rendah belum tentu dirasakan secara merata. Tanpa kebijakan pendukung penguatan logistik, perlindungan UMKM, dan peningkatan kapasitas produksi keuntungan kesepakatan ini cenderung dinikmati eksportir besar dan perusahaan multinasional. Petani, buruh, dan pelaku UMKM justru menghadapi tekanan untuk memenuhi standar ketat dengan modal terbatas.
Refleksi: Saatnya Menata Ulang Strategi
Kesepakatan ini harus dilihat bukan sebagai tujuan akhir, melainkan batu loncatan untuk memperkuat fondasi ekonomi. Indonesia perlu fokus pada penciptaan nilai tambah, diversifikasi pasar, dan penguatan kemandirian industri. Tanpa arah kebijakan yang jelas, penurunan tarif hanya akan menjadi gula-gula jangka pendek yang memperdalam ketergantungan.
Pertanyaannya sederhana tetapi krusial apakah Indonesia mampu memanfaatkan momentum ini untuk mengukir lompatan struktural, atau akan terjebak dalam euforia sesaat yang melemahkan daya tawar jangka panjang? Pilihan kebijakan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan menentukan jawabannya.