Opini
Nilai Tukar Rupiah Menuju Rp 17.000, Dampak dan Mitigasinya
Dalam rentang 2 (dua) hari terakhir, nilai tukar rupiah mengalami tekanan di pasar Non Deliverable Forward (NDF), yaitu nilai tukar yang digunakan dalam kontrak berjangka valuta asing (valas). Nilai pasar NDF ini menjadi indikator keyakinan global atas nilai rupiah. Pasar NDF menunjukkan nilai tukar rupiah melemah di kisaran Rp 17.200 per US dolar. Kondisi ini sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah di pasar spot exchange sudah menyentuh Rp. 16.800 dan terus mengalami fluktuasi.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdhan Denny Prakosa pada Senin 7 April 2025, menyampaikan bahwa Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan intervensi di pasar NDF serta mitigasi crowding out dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Selain itu, BI akan mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik.
Kalau kita kaji lebih mendalam, sebenarnya indikator ekonomi makro domestik Indonesia realtif stabil. Tingkat suku bunga acuan stabil di angka 5,75% dan inflasi masih di rentang kendali di bawah 2,5%. Faktor lain penentu stabililitas mata uang, dalam hal ini faktor politik, juga relatif stabil dengan dimulainya pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini, cenderung dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor. Pertama, ekonomi global dan kebijakan Presiden Donald Trump yang menaikkan tarif pajak. Hal ini akan membuat konstraksi neraca dagang Indonesia-Amerika, yang pada tahun 2024 mencapai surplus lebih dari 16 milyar US dolar. Kedua, tingkat keyakinan pasar global atas ekonomi dalam negeri Indonesia. Salah satu indikatornya adalah tekanan terhadap nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok lebih dari 9% begitu perdagangan bursa dibuka pada 8 April 2025. Nilai kapitalisasi pasar uang yang mencapai lebih dari 12 ribu triliun menjadi indikator paling objektif bagaimana pasar melihat dan merespon kebijakan-kebijakan pemerintah. Ketiga, adalah faktor kebijakan ekonomi Indonesia yang menganut defisit fiskal. Sehingga setiap isu pengelolaan keuangan negara akan mempengaruhi dan sekaligus terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar. Proyeksi belanja negara tahun 2025 yang lebih dari 3.600 triliun, ditopang oleh hutang lebih dari 600 triliun untuk tahun berjalan.
Proyeksi yang dibuat oleh pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro, untuk sepanjang tahun 2025, nilai tukar rupiah di kisaran Rp. 16.000 per US dolar. Ketika rupiah mengalami pelemahan menuju Rp.17.000 akan membawa dampak terhadap kebijakan moneter dan fiskal sekaligus. Pemerintah harus membuat penyesuaian kebijakan-kebijakan fiskal maupun moneter untuk memitigasi fluktuasi yang ada.
Pemerintah bisa melakukan setidaknya 4 (empat) langkah untuk mitigasi jangka pendek maupun jangka panjang, di luar kebijakan fiskal dan moneter. Pertama, melanjutkan program optimalisasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) sambil tetap memberikan insentif terbaik agar dunia usaha tetap berjalan dan tidak kekurangan likuiditas. Kedua, fokus dengan program orientasi ekspor dan substitusi impor. Ketiga, mendorong peningkatan nilai tambah atas komoditas-komoditas unggulan. Terutama di sektor pertanian, perkebunan dan maritim. Keempat, mendorong kebijakan revitalisasi sektor padat karya dan deregulasi. Hal ini diharapkan bisa menekan high cost economy yang membebani dunia usaha dan bisa meningkatkan daya saing.
Dengan kompleksitas ekonomi yang ada, rupiah mengalami fluktuasi dan tekanan nilai yang luar biasa. Pemerintah harus bisa membuat langkah-langkah untuk stabilisasi nilai tukar dengan program-program kebijakan yang terukur dan pro dengan dunia usaha.
Penulis : Ajib Hamdani (Analis Kebijakan Ekonomi APINDO)