INDONESIA OKE
YIHEGI Luncurkan Kertas Posisi Kritis Terkait Kenaikan Tarif PPN 12%
Yayasan Inovasi Hukum Ekonomi dan Governansi Indonesia (YIHEGI) meluncurkan kertas posisi terbaru berjudul “Formulasi Norma Hukum dan Kebijakan PPN 12% yang baru: Penerapan Hukum Secara Kaku Sampai Hati Membelenggu.” Dokumen ini merespons rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025, yang memicu kontroversi dan penolakan luas dari masyarakat.
Menurut analisis YIHEGI, kebijakan tersebut dinilai tidak adil dan memberatkan, terutama bagi kelas menengah dan pra-sejahtera. Sebagai pajak yang bersifat objektif dan netral terhadap penghasilan masyarakat, kenaikan tarif PPN dianggap dapat menurunkan daya beli masyarakat. YIHEGI mencatat, keluarga miskin diperkirakan akan menanggung tambahan pengeluaran sebesar Rp 101.880 per bulan, sedangkan kelas menengah sebesar Rp 354.293 per bulan.
Kondisi ini berpotensi menekan konsumsi rumah tangga sekaligus merugikan penerimaan pajak penghasilan (PPh). Bahkan, YIHEGI memperingatkan bahwa dampak kebijakan ini justru bisa menurunkan pendapatan negara.
Kritik Terhadap Kepastian Hukum
YIHEGI juga menyoroti aspek kepastian hukum dalam UU No. 7 Tahun 2021 Klaster PPN. Peralihan dari negative list principle ke positive list principle dianggap membuka ruang interpretasi yang menyulitkan masyarakat memahami peraturan perpajakan. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana yang dijanjikan dalam konsideran undang-undang tersebut.
Selain itu, YIHEGI mengkritik penerapan hukum yang dinilai kaku dan tidak prosedural. Pemerintah dianggap memaksakan kenaikan tarif PPN tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi pasca-pandemi maupun aspirasi masyarakat.
“Langkah ini menunjukkan lemahnya komitmen terhadap keadilan substantif dan prosedural,” tegas YIHEGI dalam kertas posisinya.
Rekomendasi dan Seruan Dialog
Untuk itu, YIHEGI merekomendasikan agar pemerintah:
1. Menunda kenaikan tarif PPN 12% hingga kajian mendalam dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik.
2. Merevisi formulasi hukum perpajakan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum.
3. Mengutamakan kebijakan fiskal yang lebih inklusif dan berbasis pada kondisi ekonomi masyarakat pasca-pandemi.
YIHEGI juga mendorong pemerintah, DPR, dan seluruh pemangku kepentingan membuka ruang dialog yang konstruktif guna menyerap aspirasi masyarakat.
“Dengan dialog terbuka, pemerintah dapat memahami dan mempertimbangkan masukan masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan ini,” ujar YIHEGI.
Untuk informasi lebih lanjut, Kertas Posisi ini dapat diakses melalui tautan berikut: [yihegi.my.id/kebijakan-ppn12percent].
Penulis : Chessa Ario Jani Purnomo (Peniliti YIHEGI)