INDONESIA OKE
Anak Petinggi Nyalon Jadi Kepala Daerah Bukti Hancurnya Demokrasi Indonesia?
Perhelatan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah tahun 2020 mendatang. Sekian banyak di daerah dengan berbagai macam erotis masyarakatnya akan memilih sekaligus menentukan siapa yang layak untuk memimpin daerahnya
Giuseppe Kapoyos, Deputy Investigasi, Monitoring & Intelejen (IMI) Reclasering Indonesia berpendapat, turut sertanya putra petinggi negeri tercatat dalam sejarah baru Indonesia.
“Yang menarik dalam perhelatan pesta demokrasi tahun ini adalah majunya tiga (3) putera petinggi Republik, yakni putera Presiden, mantu, dan juga putera Wapres. Dalam sejarah pesta demokrasi perhelatan pilkada baru terjadi dalam sejarah putera orang nomer satu (1) dan nomor (2) di republik ini secara bersamaan maju sebagai bakal calon kepala daerah,” terang Kapoyos kepada 18.143.23.153 (10/3/2020)
Di satu sisi, pecalonan siapapun bahkan, putra petinggi republik ini tidak bisa di hambat lantaran hal tersebut sudah merupakan hak warga negara.
“Memang, merupakan hak setiap warga negara, dan sudah menjadi kewajiban setiap warga negara untuk berbuat baik bagi NKRI tercinta, termasuk ketika ingin menjadi pemimpin daerah. Yang menjadi pertanyaan dalam perhelatan pilkada tahun ini adalah sejauh mana masyarakat menentukan siapa yang layak sebagai pemimpin, saya khawatir apakah mereka memilih sesuai dengan hati nurani?!” tanya Kapoyos
Ia juga menilai, masyarakat akan terkungkung dalam opini dari tim sucses bacalon dan tidak memiliki kemerdekaan sendiri dalam menentukan sikap.
“Faktor dorongan team sukses si calon untuk menananmkan pemahaman bahwa mereka harus memilih orang yang tepat, calon yang mempunyai akses baik dengan petinggi atau elit politik. Sehingga hak memilihnya tergadaikan,” tambahnya
Lebih lanjut Kapoyos mengungkapkan, terpilih atau tidaknya para anak petinggi ini merupakan awal dari kehancuran demokrasi di republik Indonesia.
“Terlepas masyarakat memilih dengan hati nurani ataupun tidak, dengan majunya 3 tokoh muda yang masih kerabat presiden dan wakil presiden, terpilih atau tidaknya mereka, fenomena ini merupakan awal dari kehancuran pemahaman demokrasi kita. Apalagi bila mereka terpilih, maka terbentuklah image buruk bagi perkembangan demokrasi,” lanjut Kapoyos
Selain itu, Kapoyos juga melihat adanya potensi quo fadis demokrasi, pola pikirnya adalah aji mumpung oleh penguasa. Ia berharap, semoga dunia tidak memanfaatkan kelemahan demokrasi di Indonesia.
“Saya beeharap, semoga para pengamat perhelatan pesta demokrasi dari negeri seberang dan juga Kacamata dunia tidak berasumsi buruk terhadap demokrasi di Indonesia. Khususnya dalam perhelatan Pesta demokrasi Pilkada quo fadisnya demokrasi kita” tutup Gubernur Lira Banten. (adt)