Connect with us

Polemik Revisi UU KPK, KPK Dibajak?

INDONESIA OKE

Polemik Revisi UU KPK, KPK Dibajak?

Pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai kontroversi. Gelombang aksi massa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan respon masyarakat yang kontra atas keputusan tersebut.

“Agenda pemberantasan korupsi sudah diperlemah dengan terpilihnya pimpinan baru KPK. Itu diperparah dengan revisi UU KPK yang disahkan DPR. Jadi lengkap sudah tahun 2019 ini, lima pimpinan KPK ada figur yang bermasalah, KPK juga diperlemah dengan regulasi UU KPK dan ketika pelaku korupsi dipenjara dia dapat kemudahan pengurangan hukuman melalui RUU Pemasyarakatan,” papar Peneliti Hukum ICW, Kurnia Ramadana dalam kegiatan Diskusi Publik bertema “KPK Dibajak?” yang diadakan oleh Fata Institute (Fins) dan Komite Mahasiswa Muslim Indonesia (KMMI) di Gedung Juang 45 Menteng, Jakarta, Kamis (26/09).

Namun di pihak lain, keputusan tersebut merupakan sebuah langkah yang tepat untuk memperbaiki internal KPK.
Politisi Partai NasDem, Teuku Taufiqulhadi menyatakan bahwa langkah DPR dalam mengesahkan revisi Undang-Undang KPK merupakan hal yang tepat dan benar. Baginya, ini merupakan upaya untuk memperbaiki dan menguatkan KPK secara kelembagaan negara, bukan melemahkan.

“Yang mengatakan KPK sudah dilemahkan adalah sebuah upaya provokasi yang menyesatkan,” katanya.

Lebih lanjut, Taufik menyatakan, dalam menjalankan tugasnya, KPK tidak boleh berjalan sendiri, harus ada lembaga yang mengawasi. “KPK itu bukan lembaga anti kritik. Tetap harus dilakukan upaya perbaikan. Jika tidak, maka dalam menjalankan tugasnya ia akan bertindak sewenang-wenang, tak terkendali,” paparnya.

Soal penyadapan misalnya, Taufiq menyatakan bahwa tindakan penyadapan oleh KPK juga harus diatur dan diawasi. “Penyadapan harus juga diatur, karena hal ini menyangkut hak privasi setiap warga negara. Begitupun dengan pasal menyangkut SP3, yang berfungsi untuk menjamin kepastian hukum,” tegasnya.

Taufiq menegaskan bahwa DPR berkewajiban untuk melakukan tugas pengawasan terhadap KPK, termasuk di dalamnya membuat sebuah peraturan perundang-undangan dalam upaya mengontrol dan mengawasi KPK. “Oleh Mahkamah Konstitusi (MK), KPK itu menjadi objek pengawasan DPR,” jelasnya.

Ketua Gerakan Penyelamat Harta Negara Republik Indonesia, Madun Hariadi menyatakan, dalam merespon isu revisi UU KPK, masyarakat mendapatkan informasi yang tidak berimbang. Ia menyebut, bahwa informasi yang sampai ke masyarakat bahwa KPK merupakan sebuah lembaga yang bebas dari koreksi dan pengawasan.
“Ada opini yang dibangun bahwa KPK yang paling hebat. Kasihan mereka yang tidak tahu. Kalo membuat opini itu harus yang objektif lah, jangan menyudutkan DPR, polisi atau jaksa,” katanya.

Selama ini, lanjut Madun, KPK mencitrakan diri sebagai lembaga penegak hukum yang hebat hanya melalui aksi-kasi heroik Operasi Tangkap Tangan (OTT). “Kalau KPK OTT orang katakanlah 100 juta itu tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Secara tegas, Madun menyarankan, untuk meredam dinamika masyarakat yang kian memanas, seharusnya ada keberanian dari Presiden dengan hak prerogatifnya untuk membekukan KPK sementara waktu. “Harus dibentuk tim khusus untuk menyelesaikan masalah-masalah internal dan membenahi sistem operasional kerja KPK,” sarannya.

“Usul saya ke Presiden kalau bisa, sebaiknya Presiden keluarkan Perppu dulu, bekukan KPK, stop operasional, bentuk tim khusus dan selidiki semua yang bermasalah. Saya siap bersaksi dan memberikan data-data terkait hal itu,” pungkasnya. (rls/red)

To Top
Exit mobile version