COBLOS
Lima Warga Tangsel Ajukan Uji Materi UU Pilkada
Pasal 158 ayat 1 dan 2 mengatur tentang Pengajuan Permohonan Pembatalan Hasil Pemilihan Umum. Dalam Pasal itu, terdapat batasan maksimal selisih suara untuk mengajukan permohonan.
“Untuk daerah tertentu batasan selisih suaranya tidak melebihi 0,5 persen, daerah lain tidak melebihi satu persen, ada yang 1,5 persen dan dua persen. Ada batasan itu. Jadi, jika suatu daerah pada satu sengketa pilkada selisih suara lebih dari dua persen itu tidak bisa diajukan di MK, itu problem serius,” kata Kuasa Hukum Pemohon Badrul Munir di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2015).
Sementara itu, pada beberapa pilkada, selisih suara yang diperoleh cukup besar, bahkan lebih dari delapan persen.
Pasal 158 ayat 1 dan 2 tidak membuka peluang bagi kubu yang kalah menggugat ke Mahkamah Konstitusi jika selisih suaranya lebih dari dua persen. Padahal, tidak menutup kemungkinan perolehan suara besar didapat dengan curang.
“Salah satu yang kami baca sekarang adalah para pasangan calon jika melakukan pelanggaran, mereka lakukan semaksimal mungkin agar selisih suara sangat tinggi sehingga tidak bisa digugat. Itu pokok-pokok yang kami sampaikan tadi,” tandas Badrul.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wali Kota. Pemohon menggugat Pasal 158 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 8 tahun 2015.
Permohonan dengan nomor perkara 58/PUU-XII/2015 ini diajukan oleh Mohammad Ibnu, Fahatul Azmi, Octianus, Iwan Firdaus, dan Muhammad Rizki. (source via metrotvnews)