Kesehatan
Pekan Kondom Ciderai Penanggulangan AIDS
18.143.23.153  – Pekan Kondom yang diinisiasi oleh perusahaan produsen kondom di acara peringatan Hari Aids Sedunia (HAS), dianggap menciderai penanggulangan Aids itu sendiri. Pembagian kondom itu menuai kontroversi.
Menurut Uday Abdurrahman, Koordinator Advokasi Program Penanggulangan HIV/AIDS Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), jika pembagian tersebut atas nama marketing, maka sepatutnya tepat sasaran. Bukan dibagikan kepada pihak-pihak yang dianggap berisiko.
“Produsen kondom ini sangat jelas melihat momentum peringatan HAS sebagai milestone promosi produk. Hanya jika memicu kontroversi, sekiranya perlu ada beberapa hal yang patut dijelaskan,†katanya, Senin (2/12/2013).
Ditambahkan Uday, yang juga Wakil Sekretaris PW GP Ansor Banten ini, sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah jelas. Keputusan hasil Bahtsul Masail terkait penanggulangan HIV/AIDS khususnya soal kondom. Tentang pembagian kondom, PBNU menilai, bahwa virus HIV/AIDS akan menular manakala terjadi kontak langsung dinding sel tubuh yang terbuka dengan cairan tubuh pengidap HIV.
Kontak terbuka ini, lanjut dia, amat potensi terjadi pada saat berhubungan intim karena ada gesekan saat penetrasi. Gesekan dimaksud akan menimbulkan luka yang tidak kasat mata dan menjadi pintu masuk virus HIV. Dalam konteks inilah kehadiran kondom diduga kuat mampu mencegah interaksi cairan vagina dan sperma sehingga penulraran virus dapat diminimalisasi.
Dengan demikian, penggunaan kondom dasar hukumnya mubah (boleh). Dalam arti, dijelaskan Uday, bahwa seseorang yang sehat memiliki hak untuk menggunakan kondom atau tidak sesuai kesepakatan pasangannya.
Akan tetapi, hukum mubah terhadap kondom ini bisa berubah menjadi wajib, ketika salah satunya mengidap virus HIV. Pemakaian kondom dalam konteks adalah untuk menjamin keselamatan dan kelangsungan hidup (hifdz al-nafs), baik untuk dirinya ataupun pasangan dan keluarganya. “Ia wajib menggunakan kondom, sebab cara ini menjadi salah satu sarana untuk mencegah penularan HIV,†ujarnya.
Sikap ini didasarkan pada Kaidah Fiqhiyyah yang menyatakan “Ma la yatimmu alwajib illa bihi, fahuwa wajib,” sesuatu perkara wajib yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna, kecuali sesuatu tersebut. Maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.
Berdasarkan kaidah tersebut maka  sosialisasi dan distribusi kondom hanya boleh dilakukan bagi kalangan berisiko dengan tetap memperhatikan eksesnya bagi masyarakat umum.
“Kyai-kyai kami sangat memahami konteks pemahaman masyarakat kita. Sehingga mereka mengizinkan pembagian kondom hanya untuk kalangan yang berisiko. Seperti pekerja seks, bukan untuk kalangan masyakat umum seperti pelajar dan mahasiswa,” Uday menegaskan.
Peringatan kyai untuk tetap memperhatikan konteks audiens ini demi menjaga eksesnya bagi masyarakat umum. Sehingga tidak dibenarkan sosialisasi dan bagi-bagi kondom di kalangan pelajar.
“Terkait pekan kondom, jika benar inisiasi kegiatan ini oleh perusahaan kondom, maka ini tetap harus kita apresiasi. Karena mereka telah ikut bekerja untuk penanggulangan HIV. Tapi sasaran dari Pekan Kondom sebaiknya dipersempit untuk kalangan berisiko saja, bukan untuk masyarakat umum,†paparnya.
Ia amat menyayangkan produsen kondom tidak menghitung dampak yang akan ditimbulkan. Ketidakjelian itu pada akhirnya kontraproduktif dan mengaburkan kerja-kerja penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. (Jid)